Minggu, 26 September 2010

Gaya Manajemen


Jika kita termasuk orang yang sering membaca buku-buku manajemen, tentu sering kita temui atau dituliskan berbagai pola manajemen yang dilakukan oleh perusahaan, baik yang ada didalam negeri maupun diluar negeri dengan hasil yang dicapai oleh masing-masing perusahaan dan biasanya selalu terungkap sebuah kesuksesan dalam mengelola perusahaan dengan pola manajemen A tetapi dilain pihak tidak sedikit juga perusahaan yang gagal menerapkan pola manajemen A di perusahaannya masing-masing. Kesuksesan dan kegagalan dalam menerapkan pola manajemen tertentu di perusahaan tentunya sangat dipengaruhi atau tergantung dari siapa orang yang bertanggung jawab dalam perusahaan, dengan demikian ketika kita berbicara kepada subjeknya maka kita bicara kepada gaya manajemen dari orang yang mengelola sebuah perusahaan.

Penerapan sebuah pola manajemen akan bersifat relatif ketika hal ini dikaitkan dengan kesuksesan maupun kegagalan seseorang dalam mengelola sebuah perusahaan, ini bisa saya rasakan ketika masuk ke sebuah perusahaan yang dalam dalam operasionalnya sehari-hari sangat banyak diintervensi oleh pimpinan perusahaan (Direktur). Gaya manajemen seperti ini ternyata mengakibatkan tidak adanya sistim yang baku, semua tergantung dari keputusan yang selalu diberikan oleh pimpinan perusahaan bahkan dalam operasional sehari-haripun semua sangat tergantung dari perintahnya, sehingga ketika semua karyawan operasional akan melakukan kegiatan minimal harus mendapat persetujuan atau minimal arahannya, akibatnya sudah bisa ditebak bahwa hampir tidak ada ide yang muncul, yang paling parah adalah pimpinan unit harus melaporkan sesuatu kegiatan operasionalnya yang menjadi tanggung jawabnya hampir setiap saat, terkesan sang pimpinan perusahaan adalah orang yang bertipe “One Man Show”. Mungkin gaya konservatif ini cukup berhasil dilakukan pada masa lalu dimana pada saat itu merupakan era pemilik modal merupakan pimpinan tertinggi dari sebuah perusahaan dan semua karyawan atau pegawai, tidak diperkenankan untuk memberi pendapat bahkan memberikan pendapat merupakan sebuah bentuk perlawanan atau pembangkangan terhadap pimpinan perusahaan. Bukan tidak mungkin bahwa sampai saat inipun perusahaan-perusahaan seperti diatas masih banyak menggunakan orang-orang yang bergaya manajemen one man show atau manajemen konservatif, hal ini bisa dilihat dengan banyaknya perseteruan antara karyawan dan pimpinan dalam bentuk demo menuntut keadilan.

Sebagai bahan acuan mengenai gaya manajemen saya coba memberi gambaran mengenai apa dan bagaimana gaya manajemen itu, hanya saja tentunya, dalam tulisan ini saya tidak mengarahkan atau memberikan pilihan yang terbaik karena lagi-lagi semua berpulang kepada kita,mana yang mau kita ambil untuk dicoba pada perusahaan masing-masing, namun dilain pihak hal-hal dibawah, mudah-mudahan akan memberikan gambaran yang mampu memberikan manfaat kepada kita sehingga semua akan mendapat kesuksesan dalam mengelola sebuah perusahaan di masa yang akan datang.

Gaya Manajemen “Whitespace” Versus “Traditional Blackspace”

Menurut ilmu psikologi,manusia pada umumnya menggunakan dua pendekatan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari,yaitu mereka yang cenderung bertindak sesuai rencana atau aturan formal. Kedua,mereka yang lebih memilih untuk bertindak secara spontan,penuh kebebasan dan tidak bersedia diikat oleh segala bentuk keteraturan.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan karakateristik suatu perusahaan. Kita ambil contoh 2 perusahaan yang pernah melakukan pembenahan organisasi. Perusahaan pertama,memulai program pembenahan dengan merancang strategi yang sangat jelas,lengkap dengan rincian kerja. Segala sesuatu harus tertuang dalam blue print yang telah disepakati. Evaluasi pun didasarkan pada rencana yang sudah dibuat. Gaya manajemen seperti ini lazim disebut sebagai blackspace approach,ibarat suatu kertas yang telah penuh dengan tinta rencana. Oleh karena itu,perusahaan yang cenderung menggunakan pendekatan ini seringkali disebut sebagai traditional blackspace company.

Sementara perusahaan kedua,memulai program pembenahan hanya dengan merancang visi,misi,atau output akhir. Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing orang dengan harapan agar karyawan memilki komitmen kuat terhadap pencapaian tujuan bersama. Ibarat kertas kosong putih tanpa goresan tinta rencana apapun, perusahaan dengan pendekatan gaya manajemen seperti ini biasa disebut sebagai whitespace company.

Tentu sampai sebatas ini,akan banyak argumen-argumen pro dan kontra terhadap pendekatan gaya manajemen whitespace. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika suatu proyek dikerjakan tanpa ada aturan,rencana dan budget yang jelas.? Bukankah sebuah pekerjaan akan lebih berhasil dilakukan jika ada prosedur,strategi, dan arahan yang jelas? Bukankah pendekatan ini sangat beresiko gagal dan sulit diukur tingkat keberhasilannya karena lebih didasarkan pada trial and error?

Semua argumen diatas ada benarnya,namun tidak berarti gaya manajemen traditional blackspace lebih baik dari gaya whitespace. Bahkan banyak proyek-proyek yang justru berpotensi lebih sukses jika menggunakan gaya manajemen whitespace, yaitu proyek-proyek yang memburu inovasi produk,pasar,dan sistim kerja baru. Selain itu gaya manajemen ini juga akan lebih sesuai untuk proyek-proyek yang membutuhkan kreativitas,antusiasme,kepercayaan dan uji coba berulang.

Seperti misalnya yang dilakukan oleh sebuah tim kerja di salah satu perusahaan software ternama yang bermaksud meluncurkan produk-produk yang dapat di download secara otomatis melalui internet. Ide ini pada awalnya tidak mendapatkan legitimasi dari mayoritas manajer,dalam arti ditolak karena dianganggap mengganggu penjualan produk yang sudah ada. Namun,tim khusus ini tetap melanjutkan proyek tersebut dengan mempertaruhkan “personal risk”. Mereka secara diam-diam tetap berusaha supaya ide ini terwujud walaupun tanpa dukungan siapapun. Ketika mereka menunjukkan hasil kerjanya kepada salah satu manajer senior (yang notabene bukan atasan langsung),mereka mendapat dukungan penuh walaupun hanya dari satu orang dan ternyata produk tersebut justru mendongkrak angka penjualan.

Memang harus diakui bahwa manajer di traditional blackspace company dapat memiliki sense yang jelas mengenai budget,resources dan legitimasi. Sementara whitespace manager harus memohon,meminjam bahkan sringkali mengambil secara diam-diam segala sesuatu yang mereka butuhkan. Oleh karena itu,seorang manajer perlu mengetahui beberapa strategi jika ingin menerapkan gaya manajemen whitespace. Langkah pertama dan yang paling utama adalah mengetahui kapan saat yang tepat untuk meninggalkan gaya manajemen traditional blackspace dan pindah ke whitespace approach. Tanpa melakukan evaluasi yang didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu,pendekatan ini memiliki resiko gagal yang cukup besar.

Langkah selanjutnya adalah mengenali tantangan-tantangan unik yang mungkin muncul di perusahaan anda sehubungan dengan akan diterapkan gaya manajemen whitespace,misalnya tantangan birokrasi,legitimasi,dana, atau sumber daya manusia yang cukup berani mengambil resiko dan kreatif. Jadi,termasuk manakah gaya manajemen anda?

Ada baiknya kita juga mendengarkan pemikiran seorang pemilik perusahaan “nyentrik” bernama Bob Sadino, yang mengatakan bahwa dalam mengelola sebuah perusahaan tidak perlu melakukan perencanaan tapi biarkan saja mengalir seperti air, karena menurut beliau, jika kita membuat sebuah perencanaan berarti kita sedang merencanakan sebuah kegagalan. Ketika ditanya apakah itu artinya kita akan menghadapi resiko yang besar karena jika kita tidak melakukan perencanaan maka kita tidak dapat meminimalkan resiko, menurut beliau, apapun yang kita lakukan tentunya akan menghadapi resiko dan itu dapat diartikan kita harus siap dengan resiko.

Tidak ada komentar: