Senin, 29 November 2010

Pengembangan Pegawai

Keuntungan Mengembangkan Pegawai

Ketika diberi kepercayaan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja pada sebuah perusahaan besar, ada beberapa hal yang menjadi konsentrasi saya pada saat itu diantaranya adalah bahwa di perusahaan tersebut ternyata sistem kerja (SOP) yang ada belum berjalan sebagaimana mestinya, seperti kita ketahui bahwa apabila SOP belum berjalan maka tentu akan menyulitkan kita dalam melakukan perencanaan tenaga kerja. Dalam prakteknya perencanaan tenaga kerja harus dilihat dari dua sisi yaitu sisi kuantitas dan sisi kualitas, sisi kuantitas akan memperlihatkan kepada kita, apakah perusahaan itu terlihat “gemuk” atau “kurus” dan dari sisi kualitas akan memperlihatkan kepada kita, apakah perusahaan ini “padat karya” atau “padat teknologi” atau bisa saja nantinya akan memperlihatkan kedua-duanya sehingga menyiratkan bahwa perusahaan berada ditengah-tengah dari sisi kuantitas dan kualitas.

Ketika seluruh SOP sudah bisa dijalankan dengan baik maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan pengukuran-pengukuran tenaga kerja menggunakan tool-tool tertentu, pengukuran ini diharapkan akan menghasilkan data-data yang nantinya akan diolah menjadi sebuah sebuah kesimpulan sebagaimana statement diatas yang kemudian dijadikan sebuah acuan untuk melakukan perubahan-perubahan demi kepentingan perusahaan.

Sebagai contoh ketika perusahaan akan melakukan perubahan dari “padat karya” menjadi setengah “padat teknologi” maka pada saat itu yang harus dilakukan adalah menghitung jumlah tenaga dengan kualitas yang dibutuhkan pada program ini.

Persoalan yang muncul adalah ketika kita harus mengurangi tenaga yang ada karena tentu kita tidak dapat langsung memberhentikan karyawan melalui program PHK, tetapi juga harus melalui penilaian-penilaian yang fair untuk menentukan siapa-siapa yang masih bisa bergabung dengan perusahaan dan mereka siap untuk dikembangkan oleh perusahaan. Namun persoalan lain akan muncul karena sebenarnya walaupun perusahaan telah memberikan pesangon yang lebih dari cukup, belum tentu karyawan yang di PHK mampu survive diluar perusahaan, dari pengalaman yang pernah terjadi adalah karyawan yang tidak survive ternyata kembali datang untuk meminta “belas kasihan” perusahaan. Dengan berbagai cara mereka akan meminta kepada perusahaan agar diberi “sesuatu” agar mereka tidak menggangur lagi, hal ini sering terjadi dan dilakukan oleh mereka yang berdomisili di sekitar perusahaan.

Berdasarkan pengalaman itulah, perusahaan mengantisipasinya dengan terus mengembangkan karyawan secara kontinu, agar setiap karyawan mempunyai kemampuan yang akan berguna baik untuk perusahaan maupun untuk dirinya sendiri apabila mereka resign dari perusahaan. Memang cara ini secara selintas akan membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya cukup tinggi tetapi dibalik itu ada nilai ekonomis yang akan didapatkan, sebagai contoh adalah apabila mereka yang sudah “jadi” ingin bekerja diluar perusahaan, tentunya tidak akan ada lagi biaya pesangon yang harus disiapkan oleh perusahaan.

Dibawah ini ada sebuah tulisan lain, yang menggambarkan sebuah perusahaan yang dalam pengelolaannya menitikberatkan pada sebuah proses pengembangan karyawan, dengan demikian kita para pengelola SDM perusahaan harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi sebagai upaya untuk mendukung startegi bersaing dari perusahaan. Sumber Daya Manusia yang ada diperusahaan harus diberi peluang yang besar untuk mengembangkan dirinya yang notabene harus difasilitasi oleh perusahaan dalam hal ini oleh para pengelola SDM perusahaan

Gold-Collar Worker

Kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah “blue-collar worker” dan “white collar worker” dalam dunia tenaga kerja. Selama ini memang perusahaan sering mengelompokkan tenaga kerja kedalam dua klasifikasi klasik ini. Pengelompokan berdasarkan warna kerah ini tampaknya juga didasari oleh jenis pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh masing-masing kelompok.

Pekerja blue collar pertama kali muncul pada permulaan era industri di mana orang-orang mulai beralih “pekerjaan” dari tanah pertanian ke pabrik-pabrik,sehingga kelompok ini sering diasosiasikan sebagai kelompok pekerja yang mengandalkan keterampilan fisik dalam bekerja. Sebaliknya pekerja white collar sering digambarkan sebagai pekerja yang lebih mengandalkan pengetahuan dan keterampilan mental dalam bekerja. White collar Worker ini kadang-kadang juga dianggap menduduki kelas yang lebih tinggi dalam tangga ketenagakerjaan. Sejauh ini pembagian klasik tersebut tampaknya berjalan begitu saja dan sepertinya dapat diterima oleh orang-orang yang menjalankannya.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah pembagian ini masih relevan di era teknologi dewasa ini? Meski belum ada penelitian khusus di Indonesia namun Information Technology Assossiation of Amarica mengungkapkan bahwa lebih dari 800.000 bidang kerja teknologi tidak akan terisi pada tahun yang akan datang. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga kerja handal yang dapat mengisi posisi-posisi tersebut. Tentunya ini bukan merupakan hal positif bagi perusahaan dan dalam skala yang lebih luas bisa dikatakan menjadi ancaman bagi perekonomian Nasional. Beberapa ahli kemudian mencoba menjawab fenomena kurangnya tenaga kerja handal ini dan penyebab yang dirasa memberikan pengaruh paling besar adalah klasifikasi klasik yang membedakan pekerja menjadi white collar worker dan blue-collar worker. Pemisahan ini membuat pekerja white collar hanya meningkatkan pengetahuannya secara mental dan “sedikit melupakan” cara-cara praktis untuk mengerjakan sesuatu sementara pekerja blue-collar sering tidak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilannya dalam hal-hal perencanaan,pengambilan keputusan dan keterampilan-keterampilan mental lainnya. Sementara, seiring dengan perkembangan teknologi serta untuk menjawab tantangan pasar yang makin bebas perusahaan membutuhkan satu kelompok baru dalam dunia kerja yang disebut sebagai gold collar worker.

Dinamakan “gold” karena pekerja yang memiliki keahlian multidisiplin dan dapat menggabungkan “pemikiran” dari pekerja white collar dengan “tangan” blue collar ini memang akan memberikan “emas” bagi perusahaan dan dalam skala yang lebih tinggi bagi perekonomian bangsa disamping bagi diri mereka sendiri. Mungkin ada diantara kita yang merasa bahwa selama ini telah tergolong pekerja gold collar. Mungkin saja karena memang di lini-lini bisnis tertentu tuntutan untuk menjadi pekerja gold collar ini telah lama ada. Beberapa posisi seperti teknisi pesawat udara yang mengecek dan memperbaiki sebuah pesawat atau teknisi laboratorium yang mengoperasikan perangkat laboratorium dan menganalisa hasil tes pada prinsipnya adalah pekerja gold collar. Sekarang tampaknya lini-lini bisnis lainpun menuntut hal yang serupa jika ingin menang di era teknologi ini.

Satu hal mendasar yang perlu dipikirkan adalah mengubah warna ketenagakerjaan kita dari pekerja-pekerja blue collar atau white collar yang selama ini ada menjadi gold collar? Tentu saja sekolah-sekolah, politeknik dan universitas akan bekerja keras untuk mempersiapkan lulusan-lulusan handal dengan pemikiran cemerlang dan tangan yang cekatan. Namun demikian pekerja gold collar harus meningkatkan kemampuan mereka mengiringi perkembangan teknologi yang juga kian cepat. Artinya belajar telah menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa berhenti, belajar kini harus menjadi suatu proses yang berkesinambungan dan tentunya juga membutuhkan biaya yang dapat dikatakan tidak kecil. Namun pikirkanlah “emas” yang dapat diberikan oleh pekerja gold collar ini bagi perusahaan dan perekonomian kita. Tentu saja sebagai langkah awal kita perlu mensosialisasikan keberadaan dan kebutuhan perusahaan akan kelompok pekerja baru ini kepada para stakeholder-shareholder,yaitu para karyawan dan orang-orang keuangan agar mereka dapat mendukung proses belajar berkesinambungan yang sangat dibutuhkan oleh pekerja-pekerja emas kita. Untuk itu, program training maupun coaching yang diadakan pun perlu berkesinambungan dan menstimulasi “tangan” dan “pemikiran” dari setiap karyawan.

Kamis, 18 November 2010

Loyalitas

Loyalitas

Ada sebuah pertanyaan yang mungkin sering terdengar dari para pemilik perusahaan atau para manager HRD pada era tahun 90 an, yaitu mengenai apakah diperlukan sebuah penilaian mengenai loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Memang saya merasakan sendiri betapa pada era itu banyak karyawan terjangkit virus “ kutu loncat” karena pada saat itu bagi mereka yang sering gonta- ganti perusahaan adalah mereka yang dianggap berhasil dalam kariernya sehingga ada ungkapan bahwa semakin banyak bekerja pada banyak perusahaan semakin orang itu dihargai sebagai orang yang “hebat”. . Sementara bagi mereka yang “mendekam” lama pada sebuah perusahaan adalah mereka yang dinilai masuk dalam kategori “ kuno “ walaupun begitu, anggapan itu yang terasa menyesakkan namun bagi mereka yang dikatakan “kuno” berkilah dan mempunyai alasan bahwa lamanya mereka di satu perusahaan karena mereka merasa nyaman tinggal disana, dan kenyamanan itu yang mungkin tidak akan mereka dapatkan di perusahaaan lain.

Memang sulit untuk kita definisikan bahwa orang yang terus bertahan dalam satu perusahaan adalah mereka yang mempunyai loyalitas tinggi karena lamanya mereka tinggal pada sebuah perusahaan menyangkut adanya persoalan individual atau personal yang mempengaruhinya. Jika kita menginginkan sebuah contoh mengenai loyalitas, ada baiknya kita melihat para abdi dalem yang bekerja untuk sultan di Yogyakarta, menurut kabar , gaji mereka sangat kecil apabila dibandingkankan dengan ukuran kebutuhan hidup layak (KHL) saat ini namun mereka tetap bekerja dengan sungguh-sungguh dengan tidak memperdulikan besar kecilnya gaji atau penghasilan mereka. Bagi mereka bekerja adalah pengabdian kepada raja dan ini dilakukan seumur hidup mereka, inilah, yang bagi saya, merupakan sebuah loyalitas tinggi atau sebuah pengabdian namun dalam konteks sebuah perusahaan, hal ini mungkin akan sulit kita temukan dimanapun.

Disisi lain, jika kita melihat mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri maka akan sangat jarang kita akan menemukan seorang pegawai negeri berhenti ditengah jalan atau dengan kata lain, mereka mengundurkan diri untuk bergabung dengan perusahaan swasta. Pegawai negeri yang berhenti banyak disebabkan karena mereka melakukan kesalahan atau pelanggaran berat yang melawan hukum seperti melakukan tindak pidana korupsi, sementara untuk pelanggaran indisipliner seperti tidak masuk kerja dalam waktu yang cukup lamapun, hanya dikenakan sangsi saja tanpa kehilangan haknya sebagai pegawai negeri. Dengan kenyamanan seperti ini maka mereka cenderung menghabiskan seluruh waktu kerjanya sampai memasuki usia pensiun tetap sebagai pegawai negeri.

Mengacu dari contoh-contoh diatas, maka masih relevankah pada saat ini jika sebuah perusahaan menginginkan adanya sebuah loyalitas dari karyawannya, buat saya, ini sangat relatif karena dalam situasi sekarang ini kebutuhan dan keberadaan (Supply & demand) akan tenaga handal tidak seperti dulu, saat ini tenaga-tenaga handal mungkin sudah sangat berlebih, hal ini dimungkinkan dengan dibukanya pasar bebas dengan banyaknya tenaga asing masuk ke Indonesia serta kecenderungan perusahaan besar lebih percaya kepada mereka (tenaga asing), tetapi dilain pihak banyak juga para pemilik modal menginginkan orang-orang kepercayaan mereka untuk tetap tinggal di perusahaan karena mereka sudah sangat percaya kepada orang-orang itu.

Bahwa loyalitas pada saat ini bukan merupakan hal penting bagi perusahaan sebagaimana dapat kita lihat dengan banyaknya perusahaan yang lebih memilih outsourch atau memberlakukan kontrak kepada tenaga kerjanya, fenomena inilah yang akhirnya menjadi trend kedepan, era kutu loncat sudah berlalu dan kini semua pemilik modal lebih memilih atau berorientasi kepada profit semata akibatnya urusan tenaga kerja bukan merupakan prioritas utama seperti dulu ada ungkapan bahwa karyawan perusahaan merupakan asset yang perlu dipertahankan dan dikembangkan.. Untuk lebih mengerti mengenai loyalitas dibawah ini ada sebuah tulisan yang dapat juga dijadikan sebagai ilustrasi tambahan mengenai loyalitas.

Loyalitas? Kenapa Tidak?

Masih ingat masa-masa karir sebelum krisis? saat di mana perusahaan seolah tidak punya bergaining power terhadap karyawan? Setiap eksekutif,terutama dibidang perbankan,dengan mudah mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Secara otomatis baik bergaining power ,gaji,dan fasilitas yang kian meninggi ini juga digapai dengan cara pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai-sampai istilah “kutu loncat” dianggap sebagai suatu kebanggaan. Benar-benar masa keemasan bagi para eksekutif.

Pada tahun 1990-an tersebut, loyalitas atau bertahannya seseorang pada satu perusahaan tertentu dianggap kuno. Para eksekutif mengklaim bahwa loyalitas yang benar bukan diarahkan kepada perusahaan,tetapi lebih pada profesi.

Ada beberapa fenomena lain yang justru terjadi pada pasca era buku The War of Talent oleh Ed Michaels, Helen Handfield-Jones, dan Beth Axelrod yang menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan sukses memang cenderung,bahkan terobsesi,untuk merekrut orang berbakat dan memiliki prestasi TOP. "buat apa capek-capek mendidik,bajak saja yang sudah jadi di pasaran,toh mereka pada akhirnya juga tidak setia,” demikian ungkap CEO sebuah perusahaan terkemuka. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep hubungan kerja jangka pendek ini tidak hanya diciptakan oleh karyawan,namun juga dari pihak perusahaan.

Nah apa betul perusahaan bisa survive dengan proses regenerasi macam ini? Seorang teman saya bekerja sebagai eksekutif top di perusahaan berkinerja terbaik di Indonesia. Ketika ditanya apa yang menyebabkan dirinya dapat bertahan untuk berkarir di perusahaan tersebut selama 20 tahun, secara lugas ia menjawab bahwa kesuksesan ini diperoleh karena sikap kerja,patriotisme, dan loyalitas!. Hampir pada setiap posisi dan fungsi ia mencapai higly sustainable alias orang yang sangat perlu dipertahankan oleh perusahaan. Pada saat sekarang dimana anggota direksi terdiri dari orang-orang muda yang cerdas dan kreatif,tiba-tiba teman saya ini mendapatkan penugasan penting,seperti negosiasi bisnis,pengambilan keputusan berat,yang tidak hanya membutuhkan analisa obyektif semata namun juga memerlukan “guts” ( baca : intuisi ), “feeling” serta “jam terbang”.

Dari contoh ini , kita dapat melihat bahwa Company knowledge pada saat tertentu menjadi sesuatu yang mungkin lebih penting dari hal-hal lainnya. Pengetahuan dan penghayatan SWOT,kultur, dan manuver perusahaan yang terbukti sukses,terkadang juga diperlukan,disamping terobosan-terobosan kreatif.

Ide hubungan kerja jangka pendek antara karyawan dengan perusahaan memang perlu ditinjau kembali. Perusahaan tidak bisa sekadar menawarkan gaji besar sebagai imbalan,tanpa mengindahkan hubungan yang bersifat jangka panjang. Tim manajemen yang terdiri dari karyawan bermasa kerja pendek, walaupun penuh talenta dan kreativitas,tidak selalu menjadi jawaban dari rencana pengembangan atau solusi dari masalah perusahaan. Selain itu,tidak sedikit perusahaan yang kemudian menderita karena biaya SDM yang mencekik leher. Hubungan kerja “mata duitan" di era “war of talent” tadi juga membatasi pengembangan internal karyawan,yang pada kenyataannya sangat bermanfaat.

Di lain fihak,era “a job for life” pun sudah tidak pernah bisa kembali. Selain penyediaan program pensiun penuh sudah tidak bisa dipenuhi lagi oleh kebanyakan perusahaan,karyawanpun ingin mempunyai kebebasan lebih besar dalam menentukan karirnya.

Baik karyawan maupun perusahaan sekarang ini mempunyai pilihan untuk memilih hubungan kerja jangka panjang yang bersifat lebih dinamis. Kita perlu yakin bahwa masa kerja yang panjang tidak selamanya berdampak pada kejenuhan dan turunnya produktivitas karyawan. Karena itulah,tawaran rekrutmen perusahaan juga perlu menjanjikan pengembangan karir yang fantastis,seperti kesempatan memimpin,bermitra,pelatihan yang serius,dan keterbukaan komunikasi.

Dari sisi karyawan,perlu dicatat kemungkinan terjadinya skandal korporasi yang bisa membahayakan karir, bila hanya memikirkan keuntungan finansial jangka pendek. Loyalitas pada perusahaan, yang dibarengi dengan pengendapan pemahaman mengenai praktek pengembangan perusahaan,adalah aset berharga. Aset ini tidak hanya bermanfaat selama seseorang bekerja di perusahaan,namun juga akan terbawa dalam karir selanjutnya, selama kita tidak berhenti belajar.

Loyalitas karyawan ternyata merupakan aset perusahaan yang bisa memberikan keuntungan timbal balik. Hubungan saling percaya antara perusahaan dengan karyawan ini perlu dan harus dikembangkan,serta dibuktikan oleh masing-masing fihak. Sehingga,tidak hanya perusahaan yang mendapat keuntungan dari loyalitas karyawan tapi karyawan pun mendapatkan manfaat yang sama pula!

Minggu, 07 November 2010

Program Orientasi

Program Orientasi

Ketika datang pegawai baru yang merupakan kiriman dari kantor pusat maka seperti biasa bagian HRD mulai menyiapkan program orientasi bagi karyawan tersebut. Program ini dibuat agar para pegawai baru dapat dengan cepat mengadaptasi lingkungan pekerjaan baik secara teknis maupun non teknis. Biasanya dalam program ini dilakukan juga penilaian terhadap pegawai baru, karena bagaimanapun juga sebagai pengelola SDM perusahaan kita harus bisa menilai sisi baik maupun sisi kurang baik dari setiap pegawai terutama pengetahuan dan skillnya ditambah sikap kerjanya. Sebenarnya hasil penilaian yang dilakukan, banyak pegawai yang tidak memenuhi kriteria untuk menjadi pegawai namun karena sesuai SOP maka kepada mereka diberikan program pelatihan sesuai kebutuhan sebagaimana hasil penilaian tadi.

Sebagai salah satu elemen dari program pengembangan karyawan pada sebuah perusahaan, program orientasi tentu sangat penting karena biasanya penilaian dari proses rekrutmen belum menyeluruh (komprehensif) terutama yang menyangkut teknis pekerjaan di lapangan. Memang seperti kita ketahui banyak juga perusahaan yang menginginkan agar setiap karyawan baru yang masuk sudah mempunyai pengalaman yang memadai sehingga tidak perlu “repot” lagi melaksanakan pengembangan atau orientasi bagi pegawai baru dimana waktu yang diperlukan cukup lama. Bagi para pengelola SDM perusahaan program-program yang telah dibuat dan direncanakan serta dilaksanakan secara terus menerus akan membuat rasa kejenuhan atau kebosanan selain itu program-program itu seperti pekerjaan yang menjadi sebuah kewajiban saja alias rutinitas saja, kekecewaan akan bertambah lagi ketika selesai melakukan program banyak karyawan baru mengundurkan diri dari perusahaan.

Pembahasan kita kali ini adalah untuk menjawab mengapa banyak karyawan yang akhirnya mengundurkan diri setelah mengikuti program orientasi dan atau program pengembangan. Tidak bisa kita pungkuri bahwa adanya pegawai baru yang masuk akan membawa sesuatu yang dianggap “negatif” oleh sebagian karyawan lama bahkan biasanya sering dilakukan pengucilan, apalagi ketika pegawai baru mencoba untuk melakukan perubahan-perubahan yang mengganggu kenyamanan pegawai lama. Selain itu dari sisi lain, tidak jarang program orientasi ini tidak tertata dengan baik sehingga tidak memberikan informasi yang jelas akibatnya membuat pegawai baru tidak mengerti harus berbuat apa untuk perusahaan

Tak Kenal maka Tak Sayang

Rekrut,training sebentar,cemplungkan ke pekerjaan,berproduksi, lantas keluar lagi,rekrut lagi…..Kita merasa seperti berjalan ditempat..” keluh seorang manajer pengembangan SDM,berkaitan dengan turn over karyawan baru yang besar. Padahal di tempatnya bekerja program pelatihan,orientasi untuk karyawan baru sudah dijalankan. Dimana kesalahannya?

Tidak jarang kita menemui karyawan baru di perusahaan menatap dengan pandangan kosong,terlihat ragu-ragu,dan bila didatangi oleh salah satu pimpinan perusahaan akan berpura-pura sibuk. Yang lebih berani akan menghadap ke bagian SDM dan mengeluhkan tidak jelasnya tugas ataupun kegiatan orientasi yang diberikan kepadanya. Ternyata,program kelas,tandem dengan karyawan senior,atau on the job training yang sudah dirancang bagian pengembangan SDM sering dirasakan para trainee tidak cukup.

Seorang CEO perusahaan,secara obsesif meluangkan waktu untuk duduk bersama dalam program-program orientasi perusahaan bagi karyawan baru. Ia tidak sekedar memberi pengarahan tentang visi perusahaan ataupun gambaran umum tentang apa yang diinginkan dari para karyawan,tetapi juga mengikuti dengan seksama apa yang ditranformasikan rekan-rekan manajer perusahaan kepada trainee,serta bagaimana para senior ini menangani tanya jawab mengenai praktik di perusahaan. Pada akhir masa orientasi, setiap orang harus menghadap CEO ini dan melakukan tanya jawab. Para trainee selalu memandang kegiatan ini sebagai “ujian lisan”, namun aneh tapi nyata,mereka sangat menikmatinya.

Memang tidak semua pucuk pimpinan meluangkan waktu untuk karyawan baru di perusahaan. CEO yang terlibat dalam program orientasi karyawan baru berpendapat bahwa upaya ini secara tidak langsung akan menekan biaya manajemen perusahaan. Dengan cara ini diharapkan karyawan baru dapat mengenal dan mengimplementasikan praktik-praktik yang berlaku di perusahaan dengan cepat. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerap hal ini, maka semakin tinggi pula biaya kesalahan dan penundaan yang harus ditanggung oleh manajemen.

Karyawan baru sebenarnya dapat disamakan dengan imigran. Mereka perlu mempelajari sejarah, gaya bertingkah laku. Code of conducts,gaya komunikasi, “bahasa” yang biasa digunakan,dan kultur perusahaan,serta harapan manajemen terhadap kinerja karyawan. Harus diingat bahwa ini semua tidak bisa dituangkan hanya melalui formulir-formulir,buku petunjuk,ataupun pengarahan.

Ada 3 (tiga) tingkatan orientasi yang perlu dialami karyawan sebelum benar-benar ia dapat bertingkah laku secara “pas” di perusahaan.

Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya. Disini selain pengarahan yang diberikan oleh manajer divisi di kelas, seorang karyawan baru juga perlu dibimbing ketat oleh seseorang yang sudah mengenal tugas tersebut dengan baik. Terkadang seorang profesional sekalipun,walau sudah trampil dalam menjalankan tugas,tetap perlu mengetahui bagaimana kebiasaan-kebiasaan dalam perusahaan dijalankan, yang mungkin berbeda dengan tempat ia bekerja dahulu. Disini program tandem dalam on the job training akan sangat mempan.

Kedua, lebih mengarah pada karyawan baru perlu bertingkah laku dalam kelompok,divisi,atau unitnya. Disalah satu perusahaan,diatur adanya seorang “buddy” yang akan menemani karyawan baru,dan menjadi tempat mengajukan pertanyaan. Misalnya saja,mengenai kebiasaan makan siang,apa yang harus dilakukan sendiri kalau mesin fotocopy macet,prosedur meminta ganti uang taksi, dan sebagainya. Disini divisi SDM juga berkewajiban untuk menyiapkan informasi yang komunikatif tentang bagaimana mengajukan permintaan,apa yang akan didapat karyawan,serta apa yang merupakan hak dan kewajiban karyawan.

Ketiga atau yang tertinggi,beberapa manajemen puncak akan memfokuskan perhatian pada transfer sebanyak mungkin pemahaman mengenai prinsip-prinsip komunikasi,nilai-nilai yang dianut perusahaan,serta bagaimana seorang karyawan dapat berpartisipasi dan berkontribusi di perusahaan. Ditansfernya isu-isu ini oleh manajemen puncak sendiri benar-benar bernilai filosofis.

Dengan adanya otomasi yang demikian friendly, program orientasi inipun bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menggunakan video interaktif,program-program on-line,buku karyawan, dan program mentoring lainnya yang kreatif.

Dengan program orientasi yang tepat,kita juga menghemat biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Bila seorang karyawan yang sudah diberi pelatihan selam 3 bulan tapi tetap mengundurkan diri karena program orientasi yang tidak jelas,secara otomatis,biaya rekrutmenpun akan berlipat ganda.

Seperti kata pepatah,tak kenal maka tak sayang. Bagaimana karyawan baru dapat bertahan,bila mereka tidak “mengenal” perusahaan tempatnya bekerja? Oleh karenanya sangat dibutuhkan kesadaran dari pihak manajemen dan konsistensi dalam pelaksanaan program orientasi. Niscaya,karyawan baru akan bertahan dan menjadi salah satu aset berharga bagi perusahaan.