Keuntungan Mengembangkan Pegawai
Ketika diberi kepercayaan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja pada sebuah perusahaan besar, ada beberapa hal yang menjadi konsentrasi saya pada saat itu diantaranya adalah bahwa di perusahaan tersebut ternyata sistem kerja (SOP) yang ada belum berjalan sebagaimana mestinya, seperti kita ketahui bahwa apabila SOP belum berjalan maka tentu akan menyulitkan kita dalam melakukan perencanaan tenaga kerja. Dalam prakteknya perencanaan tenaga kerja harus dilihat dari dua sisi yaitu sisi kuantitas dan sisi kualitas, sisi kuantitas akan memperlihatkan kepada kita, apakah perusahaan itu terlihat “gemuk” atau “kurus” dan dari sisi kualitas akan memperlihatkan kepada kita, apakah perusahaan ini “padat karya” atau “padat teknologi” atau bisa saja nantinya akan memperlihatkan kedua-duanya sehingga menyiratkan bahwa perusahaan berada ditengah-tengah dari sisi kuantitas dan kualitas.
Ketika seluruh SOP sudah bisa dijalankan dengan baik maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan pengukuran-pengukuran tenaga kerja menggunakan tool-tool tertentu, pengukuran ini diharapkan akan menghasilkan data-data yang nantinya akan diolah menjadi sebuah sebuah kesimpulan sebagaimana statement diatas yang kemudian dijadikan sebuah acuan untuk melakukan perubahan-perubahan demi kepentingan perusahaan.
Sebagai contoh ketika perusahaan akan melakukan perubahan dari “padat karya” menjadi setengah “padat teknologi” maka pada saat itu yang harus dilakukan adalah menghitung jumlah tenaga dengan kualitas yang dibutuhkan pada program ini.
Persoalan yang muncul adalah ketika kita harus mengurangi tenaga yang ada karena tentu kita tidak dapat langsung memberhentikan karyawan melalui program PHK, tetapi juga harus melalui penilaian-penilaian yang fair untuk menentukan siapa-siapa yang masih bisa bergabung dengan perusahaan dan mereka siap untuk dikembangkan oleh perusahaan. Namun persoalan lain akan muncul karena sebenarnya walaupun perusahaan telah memberikan pesangon yang lebih dari cukup, belum tentu karyawan yang di PHK mampu survive diluar perusahaan, dari pengalaman yang pernah terjadi adalah karyawan yang tidak survive ternyata kembali datang untuk meminta “belas kasihan” perusahaan. Dengan berbagai cara mereka akan meminta kepada perusahaan agar diberi “sesuatu” agar mereka tidak menggangur lagi, hal ini sering terjadi dan dilakukan oleh mereka yang berdomisili di sekitar perusahaan.
Berdasarkan pengalaman itulah, perusahaan mengantisipasinya dengan terus mengembangkan karyawan secara kontinu, agar setiap karyawan mempunyai kemampuan yang akan berguna baik untuk perusahaan maupun untuk dirinya sendiri apabila mereka resign dari perusahaan. Memang cara ini secara selintas akan membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya cukup tinggi tetapi dibalik itu ada nilai ekonomis yang akan didapatkan, sebagai contoh adalah apabila mereka yang sudah “jadi” ingin bekerja diluar perusahaan, tentunya tidak akan ada lagi biaya pesangon yang harus disiapkan oleh perusahaan.
Dibawah ini ada sebuah tulisan lain, yang menggambarkan sebuah perusahaan yang dalam pengelolaannya menitikberatkan pada sebuah proses pengembangan karyawan, dengan demikian kita para pengelola SDM perusahaan harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi sebagai upaya untuk mendukung startegi bersaing dari perusahaan. Sumber Daya Manusia yang ada diperusahaan harus diberi peluang yang besar untuk mengembangkan dirinya yang notabene harus difasilitasi oleh perusahaan dalam hal ini oleh para pengelola SDM perusahaan
Gold-Collar Worker
Kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah “blue-collar worker” dan “white collar worker” dalam dunia tenaga kerja. Selama ini memang perusahaan sering mengelompokkan tenaga kerja kedalam dua klasifikasi klasik ini. Pengelompokan berdasarkan warna kerah ini tampaknya juga didasari oleh jenis pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh masing-masing kelompok.
Pekerja blue collar pertama kali muncul pada permulaan era industri di mana orang-orang mulai beralih “pekerjaan” dari tanah pertanian ke pabrik-pabrik,sehingga kelompok ini sering diasosiasikan sebagai kelompok pekerja yang mengandalkan keterampilan fisik dalam bekerja. Sebaliknya pekerja white collar sering digambarkan sebagai pekerja yang lebih mengandalkan pengetahuan dan keterampilan mental dalam bekerja. White collar Worker ini kadang-kadang juga dianggap menduduki kelas yang lebih tinggi dalam tangga ketenagakerjaan. Sejauh ini pembagian klasik tersebut tampaknya berjalan begitu saja dan sepertinya dapat diterima oleh orang-orang yang menjalankannya.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah pembagian ini masih relevan di era teknologi dewasa ini? Meski belum ada penelitian khusus di Indonesia namun Information Technology Assossiation of Amarica mengungkapkan bahwa lebih dari 800.000 bidang kerja teknologi tidak akan terisi pada tahun yang akan datang. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga kerja handal yang dapat mengisi posisi-posisi tersebut. Tentunya ini bukan merupakan hal positif bagi perusahaan dan dalam skala yang lebih luas bisa dikatakan menjadi ancaman bagi perekonomian Nasional. Beberapa ahli kemudian mencoba menjawab fenomena kurangnya tenaga kerja handal ini dan penyebab yang dirasa memberikan pengaruh paling besar adalah klasifikasi klasik yang membedakan pekerja menjadi white collar worker dan blue-collar worker. Pemisahan ini membuat pekerja white collar hanya meningkatkan pengetahuannya secara mental dan “sedikit melupakan” cara-cara praktis untuk mengerjakan sesuatu sementara pekerja blue-collar sering tidak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilannya dalam hal-hal perencanaan,pengambilan keputusan dan keterampilan-keterampilan mental lainnya. Sementara, seiring dengan perkembangan teknologi serta untuk menjawab tantangan pasar yang makin bebas perusahaan membutuhkan satu kelompok baru dalam dunia kerja yang disebut sebagai gold collar worker.
Dinamakan “gold” karena pekerja yang memiliki keahlian multidisiplin dan dapat menggabungkan “pemikiran” dari pekerja white collar dengan “tangan” blue collar ini memang akan memberikan “emas” bagi perusahaan dan dalam skala yang lebih tinggi bagi perekonomian bangsa disamping bagi diri mereka sendiri. Mungkin ada diantara kita yang merasa bahwa selama ini telah tergolong pekerja gold collar. Mungkin saja karena memang di lini-lini bisnis tertentu tuntutan untuk menjadi pekerja gold collar ini telah lama ada. Beberapa posisi seperti teknisi pesawat udara yang mengecek dan memperbaiki sebuah pesawat atau teknisi laboratorium yang mengoperasikan perangkat laboratorium dan menganalisa hasil tes pada prinsipnya adalah pekerja gold collar. Sekarang tampaknya lini-lini bisnis lainpun menuntut hal yang serupa jika ingin menang di era teknologi ini.
Satu hal mendasar yang perlu dipikirkan adalah mengubah warna ketenagakerjaan kita dari pekerja-pekerja blue collar atau white collar yang selama ini ada menjadi gold collar? Tentu saja sekolah-sekolah, politeknik dan universitas akan bekerja keras untuk mempersiapkan lulusan-lulusan handal dengan pemikiran cemerlang dan tangan yang cekatan. Namun demikian pekerja gold collar harus meningkatkan kemampuan mereka mengiringi perkembangan teknologi yang juga kian cepat. Artinya belajar telah menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa berhenti, belajar kini harus menjadi suatu proses yang berkesinambungan dan tentunya juga membutuhkan biaya yang dapat dikatakan tidak kecil. Namun pikirkanlah “emas” yang dapat diberikan oleh pekerja gold collar ini bagi perusahaan dan perekonomian kita. Tentu saja sebagai langkah awal kita perlu mensosialisasikan keberadaan dan kebutuhan perusahaan akan kelompok pekerja baru ini kepada para stakeholder-shareholder,yaitu para karyawan dan orang-orang keuangan agar mereka dapat mendukung proses belajar berkesinambungan yang sangat dibutuhkan oleh pekerja-pekerja emas kita. Untuk itu, program training maupun coaching yang diadakan pun perlu berkesinambungan dan menstimulasi “tangan” dan “pemikiran” dari setiap karyawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar