Kamis, 18 November 2010

Loyalitas

Loyalitas

Ada sebuah pertanyaan yang mungkin sering terdengar dari para pemilik perusahaan atau para manager HRD pada era tahun 90 an, yaitu mengenai apakah diperlukan sebuah penilaian mengenai loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Memang saya merasakan sendiri betapa pada era itu banyak karyawan terjangkit virus “ kutu loncat” karena pada saat itu bagi mereka yang sering gonta- ganti perusahaan adalah mereka yang dianggap berhasil dalam kariernya sehingga ada ungkapan bahwa semakin banyak bekerja pada banyak perusahaan semakin orang itu dihargai sebagai orang yang “hebat”. . Sementara bagi mereka yang “mendekam” lama pada sebuah perusahaan adalah mereka yang dinilai masuk dalam kategori “ kuno “ walaupun begitu, anggapan itu yang terasa menyesakkan namun bagi mereka yang dikatakan “kuno” berkilah dan mempunyai alasan bahwa lamanya mereka di satu perusahaan karena mereka merasa nyaman tinggal disana, dan kenyamanan itu yang mungkin tidak akan mereka dapatkan di perusahaaan lain.

Memang sulit untuk kita definisikan bahwa orang yang terus bertahan dalam satu perusahaan adalah mereka yang mempunyai loyalitas tinggi karena lamanya mereka tinggal pada sebuah perusahaan menyangkut adanya persoalan individual atau personal yang mempengaruhinya. Jika kita menginginkan sebuah contoh mengenai loyalitas, ada baiknya kita melihat para abdi dalem yang bekerja untuk sultan di Yogyakarta, menurut kabar , gaji mereka sangat kecil apabila dibandingkankan dengan ukuran kebutuhan hidup layak (KHL) saat ini namun mereka tetap bekerja dengan sungguh-sungguh dengan tidak memperdulikan besar kecilnya gaji atau penghasilan mereka. Bagi mereka bekerja adalah pengabdian kepada raja dan ini dilakukan seumur hidup mereka, inilah, yang bagi saya, merupakan sebuah loyalitas tinggi atau sebuah pengabdian namun dalam konteks sebuah perusahaan, hal ini mungkin akan sulit kita temukan dimanapun.

Disisi lain, jika kita melihat mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri maka akan sangat jarang kita akan menemukan seorang pegawai negeri berhenti ditengah jalan atau dengan kata lain, mereka mengundurkan diri untuk bergabung dengan perusahaan swasta. Pegawai negeri yang berhenti banyak disebabkan karena mereka melakukan kesalahan atau pelanggaran berat yang melawan hukum seperti melakukan tindak pidana korupsi, sementara untuk pelanggaran indisipliner seperti tidak masuk kerja dalam waktu yang cukup lamapun, hanya dikenakan sangsi saja tanpa kehilangan haknya sebagai pegawai negeri. Dengan kenyamanan seperti ini maka mereka cenderung menghabiskan seluruh waktu kerjanya sampai memasuki usia pensiun tetap sebagai pegawai negeri.

Mengacu dari contoh-contoh diatas, maka masih relevankah pada saat ini jika sebuah perusahaan menginginkan adanya sebuah loyalitas dari karyawannya, buat saya, ini sangat relatif karena dalam situasi sekarang ini kebutuhan dan keberadaan (Supply & demand) akan tenaga handal tidak seperti dulu, saat ini tenaga-tenaga handal mungkin sudah sangat berlebih, hal ini dimungkinkan dengan dibukanya pasar bebas dengan banyaknya tenaga asing masuk ke Indonesia serta kecenderungan perusahaan besar lebih percaya kepada mereka (tenaga asing), tetapi dilain pihak banyak juga para pemilik modal menginginkan orang-orang kepercayaan mereka untuk tetap tinggal di perusahaan karena mereka sudah sangat percaya kepada orang-orang itu.

Bahwa loyalitas pada saat ini bukan merupakan hal penting bagi perusahaan sebagaimana dapat kita lihat dengan banyaknya perusahaan yang lebih memilih outsourch atau memberlakukan kontrak kepada tenaga kerjanya, fenomena inilah yang akhirnya menjadi trend kedepan, era kutu loncat sudah berlalu dan kini semua pemilik modal lebih memilih atau berorientasi kepada profit semata akibatnya urusan tenaga kerja bukan merupakan prioritas utama seperti dulu ada ungkapan bahwa karyawan perusahaan merupakan asset yang perlu dipertahankan dan dikembangkan.. Untuk lebih mengerti mengenai loyalitas dibawah ini ada sebuah tulisan yang dapat juga dijadikan sebagai ilustrasi tambahan mengenai loyalitas.

Loyalitas? Kenapa Tidak?

Masih ingat masa-masa karir sebelum krisis? saat di mana perusahaan seolah tidak punya bergaining power terhadap karyawan? Setiap eksekutif,terutama dibidang perbankan,dengan mudah mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Secara otomatis baik bergaining power ,gaji,dan fasilitas yang kian meninggi ini juga digapai dengan cara pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai-sampai istilah “kutu loncat” dianggap sebagai suatu kebanggaan. Benar-benar masa keemasan bagi para eksekutif.

Pada tahun 1990-an tersebut, loyalitas atau bertahannya seseorang pada satu perusahaan tertentu dianggap kuno. Para eksekutif mengklaim bahwa loyalitas yang benar bukan diarahkan kepada perusahaan,tetapi lebih pada profesi.

Ada beberapa fenomena lain yang justru terjadi pada pasca era buku The War of Talent oleh Ed Michaels, Helen Handfield-Jones, dan Beth Axelrod yang menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan sukses memang cenderung,bahkan terobsesi,untuk merekrut orang berbakat dan memiliki prestasi TOP. "buat apa capek-capek mendidik,bajak saja yang sudah jadi di pasaran,toh mereka pada akhirnya juga tidak setia,” demikian ungkap CEO sebuah perusahaan terkemuka. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep hubungan kerja jangka pendek ini tidak hanya diciptakan oleh karyawan,namun juga dari pihak perusahaan.

Nah apa betul perusahaan bisa survive dengan proses regenerasi macam ini? Seorang teman saya bekerja sebagai eksekutif top di perusahaan berkinerja terbaik di Indonesia. Ketika ditanya apa yang menyebabkan dirinya dapat bertahan untuk berkarir di perusahaan tersebut selama 20 tahun, secara lugas ia menjawab bahwa kesuksesan ini diperoleh karena sikap kerja,patriotisme, dan loyalitas!. Hampir pada setiap posisi dan fungsi ia mencapai higly sustainable alias orang yang sangat perlu dipertahankan oleh perusahaan. Pada saat sekarang dimana anggota direksi terdiri dari orang-orang muda yang cerdas dan kreatif,tiba-tiba teman saya ini mendapatkan penugasan penting,seperti negosiasi bisnis,pengambilan keputusan berat,yang tidak hanya membutuhkan analisa obyektif semata namun juga memerlukan “guts” ( baca : intuisi ), “feeling” serta “jam terbang”.

Dari contoh ini , kita dapat melihat bahwa Company knowledge pada saat tertentu menjadi sesuatu yang mungkin lebih penting dari hal-hal lainnya. Pengetahuan dan penghayatan SWOT,kultur, dan manuver perusahaan yang terbukti sukses,terkadang juga diperlukan,disamping terobosan-terobosan kreatif.

Ide hubungan kerja jangka pendek antara karyawan dengan perusahaan memang perlu ditinjau kembali. Perusahaan tidak bisa sekadar menawarkan gaji besar sebagai imbalan,tanpa mengindahkan hubungan yang bersifat jangka panjang. Tim manajemen yang terdiri dari karyawan bermasa kerja pendek, walaupun penuh talenta dan kreativitas,tidak selalu menjadi jawaban dari rencana pengembangan atau solusi dari masalah perusahaan. Selain itu,tidak sedikit perusahaan yang kemudian menderita karena biaya SDM yang mencekik leher. Hubungan kerja “mata duitan" di era “war of talent” tadi juga membatasi pengembangan internal karyawan,yang pada kenyataannya sangat bermanfaat.

Di lain fihak,era “a job for life” pun sudah tidak pernah bisa kembali. Selain penyediaan program pensiun penuh sudah tidak bisa dipenuhi lagi oleh kebanyakan perusahaan,karyawanpun ingin mempunyai kebebasan lebih besar dalam menentukan karirnya.

Baik karyawan maupun perusahaan sekarang ini mempunyai pilihan untuk memilih hubungan kerja jangka panjang yang bersifat lebih dinamis. Kita perlu yakin bahwa masa kerja yang panjang tidak selamanya berdampak pada kejenuhan dan turunnya produktivitas karyawan. Karena itulah,tawaran rekrutmen perusahaan juga perlu menjanjikan pengembangan karir yang fantastis,seperti kesempatan memimpin,bermitra,pelatihan yang serius,dan keterbukaan komunikasi.

Dari sisi karyawan,perlu dicatat kemungkinan terjadinya skandal korporasi yang bisa membahayakan karir, bila hanya memikirkan keuntungan finansial jangka pendek. Loyalitas pada perusahaan, yang dibarengi dengan pengendapan pemahaman mengenai praktek pengembangan perusahaan,adalah aset berharga. Aset ini tidak hanya bermanfaat selama seseorang bekerja di perusahaan,namun juga akan terbawa dalam karir selanjutnya, selama kita tidak berhenti belajar.

Loyalitas karyawan ternyata merupakan aset perusahaan yang bisa memberikan keuntungan timbal balik. Hubungan saling percaya antara perusahaan dengan karyawan ini perlu dan harus dikembangkan,serta dibuktikan oleh masing-masing fihak. Sehingga,tidak hanya perusahaan yang mendapat keuntungan dari loyalitas karyawan tapi karyawan pun mendapatkan manfaat yang sama pula!

Tidak ada komentar: