Sabtu, 20 Agustus 2022

 

Loyalitas

Penetapan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir J merupakan babak baru pengungkapan misteri kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat, dengan demikian sudah ada 5 tersangka yang ditetapkan oleh POLRI selain itu juga direkomendasikan ada 35 orang untuk dikurung ditempat khusus. Apakah jumlah tersangka akan bertambah lagi, jika melihat rekomendasi itu maka kemungkinan untuk bertambah sangat besar. Melihat demikian banyaknya yang terlibat dengan pangkat yang beragam mulai dari jenderal hingga yang terendah Bharada, disisi lain mereka mempunyai peran yang berbeda dan yang terlibat langsung dengan menembak sampai dengan dugaan melakukan tindak pidana yaitu obstruction of justice menghalangi penyidikan. Hal ini mengindikasikan begitu kuatnya pengaruh seorang Ferdy Sambo sebagai seorang atasan atau pimpinan, sementara begitu loyalnya para bawahan sehingga mau melakukan tindakan brutal terhadap sejawatnya sendiri. Dari uraian diatas penulis hanya menggaris bawahi atau tertarik mengenai loyalitas para bawahan dalam hal ini kepada atasan atau pimpinan mereka. Loyalitas memang diperlukan sebagai sebuah kompetensi dalam menduduki satu jabatan pada institusi atau perusahaan namun tolok ukur bentuk loyal itu sendiri sulit diidentifikasi untuk pengukurannya.Karena tidak adanya tolok ukur yang jelas maka sebuah perintah dari atasan harus dilaksanakan karena akan dijadikan keberhasilan seorang bawahan menjadi loyal atau tidak, kasus diatas merupakan indikator kalau mau disebut loyal harus ikut perintah atasan walaupun untuk itu harus melanggar aturan dan beresiko apalagi sampai merugikan orang lain atau jika bawahan tidak mau menuruti perintah atasan maka akan kehilangan kesempatan atau tidak akan menikmati manfaat apa-apa dikemudian hari.

Ada 2 contoh yang berkaitan dengan loyalitas ini, contoh pertama adalah yang saat ini sedang viral mengenai seorang Ganjar Pranowo dengan hasil survey untuk capres 2024 dinilai paling berpeluang untuk menjadi pengganti Pak Jokowi, namun sampai saat ini belum ada sinyal dari partainya bahwa beliau akan dicalonkan namun sampai juga saat ini beliau tetap akan loyal pada perintah ketua partai. Itu artinya apabila nantinya tidak dicalonkan maka akan kehilangan kesempatannya. Contoh yang kedua adalah LB Moerdani, yang diangkat menjadi Panglima ABRI atau yang sekarang disebut Panglima TNI oleh Presiden Suharto, beliau sangat loyal kepada pak Harto, ada kalimat beliau “ jika ada yang mau mengganti Presiden Suharto secara Inkonstitusional langkahi dulu mayat saya”.Pada saat itulah Indonesia dengan kekuatan militernya sangat disegani oleh Negara-negara tetangga. LB Moerdani juga dengan berani menyarankan kepada pak Harto agar anak-anaknya tidak terlalu berlebihan dalam melakukan bisnis, tentu saja saran itu membuat Pak Harto marah,  sebuah awal meredupnya kekuatan LB Moerdani sebagai Panglima ABRI yang kemudian diganti oleh Jenderal Faisal Tanjung. Itu Artinya seorang atasan punya kewenangan atau otoritasnya untuk mengganti posisi bawahan yang mungkin dianggap tidak loyal.

Bagaimana dengan pegawai atau karyawan yang bekerja pada sebuah perusahaan, apakah mereka dituntut untuk loyal kepada atasan mereka atau juga kepada perusahaan, bahwa banyak perusahaan mengharapkan para pegawai atau karyawannya untuk loyal namun kembali lagi tolok ukur seseorang itu loyal atau tidak itu juga tidak jelas, sehingga ada perusahaan tidak menggunakan loyalitas sebagai kompetensi dalam menduduki satu jabatan atau posisi dalam organisasinya. Sebenarnya pada era saat ini loyalitas kepada perusahaan sudah tidak relevan lagi karena banyak tenaga kerja yang memilih untuk loyal kepada keahlian atau profesinya sehingga perusahaan harus siap ditinggalkan apabila tenaga kerja ini merasa situasi dan kondisi perusahaan tidak mendukung apa yang mereka inginkan atau bayangkan sebelumnya. Tidak ada yang benar atau salah mengenai loyalitas karena itu menjadi sebuah pilihan kalau kita mau loyal terhadap atasan maka loyalitas kita harus mengedepankan dan menyesuaikan dengan perundangan dan peraturan maupun norma yang berlaku dan jangan sampai merugikan orang lain, demikian juga ketika kita ingin loyal dengan keahlian atau profesi kita maka kedepankan juga etika dan moral dan peraturan yang berlaku.

 

Bertahan atau mati

Beberapa waktu yang lalu, penulis dikontak seorang kawan lama yang hampir 15 tahun tidak bertemu, dan kawan itu dulu adalah karyawan di sebuah perusahaan sebagai tenaga pengelola keuangan perusahaan. Pekerjanan atau tugas yang diembannya sangat cocok dengan kompetensi yang dimilikinya yaitu lulusan fakultas ekonomi dari sebuah perguruan tinggi di Bandung namun ketika kontak beliau mengatakan bahwa saat ini diberi tanggung jawab untuk mengelola SDM Perusahaan, sesuatu yang menurut beliau seperti masuk dunia yang “gelap” hal itu dikarenakan pengetahuannya sangat awam dibidang ini. Karena diberi tugas dan tanggung jawab oleh perusahaan maka sebagai bentuk loyalitas kepada perusahaan beliau menerima dan secepatnya mempelajari dengan mulai mengumpulkan referensi mengenai pengelolaan SDM Perusahaan termasuk ingin berdiskusi dengan penulis, tentu hal seperti ini penulis sambut dengan tangan terbuka dan siap membantu beliau.

Dalam diskusi dengan beliau, penulis melihat semangat yang tinggi untuk belajar mengenai pengelolaan SDM Perusahaan namun disisi lain ada hal yang tentu akan sedikit banyaknya mengganggu aktivitas beliau yaitu usia beliau yang menurut penulis sudah tidak muda lagi karena sudah memasuki usia pensiun. Penulis terlebih dahulu mendengar apa yang beliau ingin ketahui mengenai pengelolaan SDM Perusahaan karena bagi penulis akan lebih mudah memberikan pengetahuan ketika yang bersangkutan sudah mempelajari dan mengalami kesulitan dalam memahami sebuah persoalan SDM Perusahaan, juga apa  rencana kerja dan target kerjanya kedepan. Dengan demikian penulis akan memberikan pemahaman atau pengertian yang akan mempermudah beliau dalam mengimplementasikannya, selain itu penulis harus mengikuti pola atau alur pemikiran beliau dalam mengelola SDM Perusahaan dan juga memberikan saran sesuai pengalaman penulis, agar bisa berjalan dengan lancer maka penulis mempersilahkan beliau mengontak penulis melalui telepon jika mendapat permasalahan dalam mengelola SDM Perusahaan.

Jika mengamati apa yang dialami oleh kawan lama penulis, dimana pada usia yang telah memasuki masa pensiun, beliau diberi tugas yang tidak sesuai kompetensinya tentunya akan menimbulkan pertanyaan tentang apa yang melatarbelakangi perusahaan memberikan tugas kepada seorang karyawan yang akan memasuki usia pensiun pada jabatan strategis seperti itu. Ada beberapa asumsi yang timbul dalam pemikiran penulis dan ini memang juga sering dilakukan oleh managemen kepada personal tertentu , yaitu :

1.       Perusahaan memberikan tugas yang menantang bagi seorang karyawan dengan tujuan untuk melihat apakah karyawan itu dapat bertahan atau tidak atau malah menolak tugas itu, sejenis ujian dalam rangka rencana tugas selanjutnya yang akan diberikan perusahaan kepada karyawan tersebut, dimasa yang akan datang.

2.       Karena banyaknya persoalan menyangkut keuangan yang ada di dapartemen SDM maka diperlukan orang dengan kemampuan manajerial keuangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dimaksud atau persoalan-persoalan non ke sdm an yang harus diselesaikan sehingga tidak diperlukan pengetahuan pengelolaan sdm yang tinggi.

3.       Tidak tersedianya karyawan dengan level tertentu (gaji) untuk menduduki  posisi pengelola sdm sehingga perlu diangkat karyawan yang mempunyai level sesuai persyaratan dengan tidak melihat kompetensinya namun mungkin saja lebih kepada efisiensi.

4.       Sebaliknya ada perusahaan yang mempunyai pandangan bahwa departemen sdm hanya pelengkap saja sehingga keberadaannya bukan sesuatu yang strategis,jika seperti ini maka pemberian tugas untuk mengelola SDM Perusahaan hanya karena mempersiapkan seorang karyawan memasuki masa purnakarya alias pensiun, jadi tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap perusahaan maupun kepada karyawan dimaksud.

Keempat point diatas merupakan keputusan-keputusan yang pernah dilakukan sepanjang penulis ketahui baik itu langsung melaksanakan ataupun hasil diskusi dengan rekan-rekan sesama pengelola SDM Perusahaan.

Secara personal yang mengalami hal itu, seperti juga kawan saya diatas, beliau ini sepertinya mengalami kekhawatiran tidak mampu melaksanakannya namun dilain pihak, beliau juga harus bertahan diperusahaan daripada menolak artinya lonceng kesusahan akan datang karena bisa perusahaan tidak lagi memberi kesempatan bekerja, hal ini menjadi dilema buat beliau.

 

Rutinitas atau Berubah

 Sudah cukup lama tidak menulis lagi mengenai kegiatan dalam dunia ke sdm an perusahaan, hal ini disebabkan beberapa hal, yang salah satu diantaranya mengenai berpindahnya lokasi kerja penulis. Berpindahnya lokasi kerja juga karena penulis keluar dari perusahaan dan masuk ke perusahaan lain, dalam rentang 6 tahun telah ada 4 perusahaan yang telah menggunakan tenaga penulis dalam mengelola sdm perusahaan, dengan berbagai bidang bisnis perusahaan yang berbeda, untuk itu penulis mencoba memberikan gambaran mengenai pengelolaan sdm pada perusahaan yang berbeda.

Ketika masuk dan keluar dari sebuah perusahaan kemudian masuk kembali ke Perusahaan lain, mungkin ada yang berfikir bahwa penulis merupakan “kutu loncat” ataupun nama-nama lain yang bisa membuat setiap orang berfikir secara negatif ataupun positif, jadi silahkan itu diserahkan kepada masing-masing individu atau personal. Namun terlepas dari itu, yang akan ditulis disini adalah pengalaman penulis ketika bekerja di beberapa perusahaan dengan mengambil sudut pengelolaan sdm perusahaan, ada hal yang menarik untuk disampaikan yaitu adanya kesamaan dan perbedaan atas permasalahan yang dihadapi dalam mengelola sdm di masing-masing perusahaan, mulai dari kesamaan prilaku sehari hari karyawan perusahaan dalam bekerja dan merespon setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sdm perusahaan serta reaksi yang timbul sehingga harus ditanggapinya reaksi-reaksi itu. Adanya sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi reaksi-reaksi itu tentu menjadi  permasalahan yang harus diselesaikan agar tidak menjadi awal dari permasalahan baru.

Ketika ada permasalahan yang berkaitan dengan ke sdm an, seyogyanya dengan segera para pengelola sdm perusahaan melakukan evaluasi dan mengambil keputusan yang bisa memberikan rasa adil bagi karyawan perusahaan walaupun rasa adil itu menjadi relatif dalam implementasinya. Personal yang berkecimpung dengan dunia sdm perusahaan tentunya punya pola pemecahan masalah yang berbeda dalam mengelola sdm perusahaan, perbedaan itu disebabkan dapat saja disebabkan oleh  bidang bisnis, lokasi perusahaan dan juga karakteristik karyawan yang bekerja pada perusahaan, sementara dilain pihak untuk sistem atau metode pengelolaan sdm hampir tidak banyak perbedaan untuk setiap perusahaan.

Dapat dijelaskan bahwa perbedaan bidang bisnis setiap perusahan, tentunya akan membuat adanya perbedaan dalam menyusun sistem pengelolaan sdm perusahaan karena setiap perusahaan mempunyai visi dan misi sendiri, selain itu dari jumlah tenaga kerja bila dikaitkan dengan bisnis perusahaan, tentu berbeda perusahaan yang menggunakan tenaga kerja ribuan jumlahnya (massal) dalam menggerakkan roda usahanya seperti misalnya pada pabrik-pabrik yang beorientasi pada industri garmen, bagi perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak seperti itu tentu akan berbeda dalam pengelolaan sdmnya dengan bisnis yang bersifat khusus terutama yang berkaitan dengan industri yang memerlukan kreatifitas individual seperti misalnya bidang konsultan. Artinya jika untuk industri yang bersifat massal maka problemnya lebih kepada bagaimana mengelola bidang  hubungan industrial dan biasanya pada bidang ini lebih menekankan pada aspek normatif seperti Peraturan Perusahaan dan UU ketenagakerjaan sehingga para pengelola sdm perusahaan disini akan lebih melakukan pekerjaan rutin saja atau lebih banyak bidang administratif saja, walaupun ini tidak mutlak seperti itu. Sementara untuk bisnis yang bersifat khusus tentunya akan menuntut para pengelola sdm perusahaan untuk berbuat lebih lagi, khususnya pada bidang sistem pengelolaannya karena kondisi bisnis yang terus berubah sejalan dengan waktu sehingga harus terus menyesuaikan. Sebagai perbandingannya dapat diberikan atau digambarkan contoh sebagai berikut : dalam hal pemberian gaji karyawan perusahaan pada industri massal, tidak diperlukan sistim gaji yang rumit, biasanya cukup dengan menyesuaikan gaji yang ada dengan perubahan Upah Minimum Propinsi. UMP biasanya dijadikan acuan dalam menetapkan atau merubah besaran penggajian karyawan, sementara pada industri khusus akan akan dibuat sistim penggajian yang berdasarkan kepada kemampuan atau kinerja dalam menetapkan maupun merubah besaran penggajian serta menyesuaikan dengan perkembangan bisnis perusahaan, demikian juga dengan sistem rekrutmentnya tentu akan sangat berbeda terutama dengan mengambil basis atau dasar rekrut tenaga kerjanya. Kedua jenis bidang bisnis diatas adalah yang kalau ditarik lurus berada pada ujung yang berbeda  dari garis itu. Sementara untuk industri yang berada diantara kedua ujung akan menyesuaikan dengan metode pendekatan kearah industri massal atau kearah industri khusus.

Mengenai lokasi perusahaan, ada hal yang membedakan pada proses kegiatan pengelolaan sdm perusahaan terutama yang berkaitan dengan proses rekrutmen karyawan, biasanya pada proses rekrutmen yang menjadi fokus perusahaan adalah menjaring tenaga kerja potensial yang nantinya diharapkan mampu bekerja maksimal di perusahaan. Tenaga kerja potensial ini akan lebih kompetitif lagi bila calon yang mendaftar cukup banyak dan sesuai kriteria, menjaring tenaga kerja seperti ini tentu merupakan tantangan tersendiri dalam merekrutnya. Namun bagaimana jika lokasi perusahan berada pada area tertentu dengan sangat terbatasnya tenaga kerja potensial sementara masyarakat yang berada dilingkungan perusahaan cukup banyak dan menginginkan untuk dapat bekerja disitu, hal ini sering terjadi dan menjadi permasalahan tersendiri. Merekrut berdasarkan lokasi perusahaan misalnya jika berlokasi di kota besar atau mengacu kepada masyarakat perkotaan, mereka dapat memilih  sendiri tempat bekerjanya karena dapat lapangan pekerjaan sangat beragam sehingga beban untuk menghadapi mereka secara head to head menjadi kecil kemungkinannya terjadi namun sebaliknya apabila perusahaan berada di lokasi yang minim lapangan pekerjaan maka tentu perusahaan yang berlokasi di tempat itu akan terus menghadapi masyarakat sekitar, apalagi saat ini sekelompok masyarakat dapat membuat lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk berhubungan dengan perusahan dan cenderung dibentuk untuk kepentingan-kepentingan sesaat saja, terutama yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan. Tidak jarang sering terjadi pergesekan fisik antara pengelola perusahaan dengan masyarakat sekitar, sehingga instansi terkait harus terus terlibat dalam penyelesaian permasalahan, untuk itu agar meredam pergesekan itu diperlukan peran pemerintah daerah itu membuka lapangan kerja lebih luas lagi.

Untuk karakateristik karyawan, yang dimaksud karakteristik karyawan adalah bagaimana prilaku karyawan dalam bereaksi menghadapi atau mendapat sebuah masalah yang kemudian disampaikan kepada para pengelola sdm perusahaan. Secara umum karakteristik ini sangat berkaitan dengan budaya lokal atau adat istiadat daerah itu namun disitulah letak keunikan dari setiap daerah, namun hal ini  juga harus difahami dan disikapi secara arif agar dalam memberikan solusinya tidak menjadi permasalahan yang baru.

Untuk daerah-daerah tertentu, ada kecenderungan anggota masyarakat dilingkungan perusahaan yang melakukan tindak kekerasan untuk mencapai keinginannya dan ini sering terjadi, jika perusahaan tidak mampu lagi mereamnya maka untuk meredamnya atau menanggulanginya, beberapa perusahaan terpaksa harus mengeluarkan dana lagi untuk pengamanan dan biasanya dengan bekerjasama dengan aparat kepolisian maupun TNI.

Kembali kepada contoh, bagaimana jika kita menarik garis lurus seperti diatas maka jika dimulai dari ujung yang berupa industri massal sampai dengan ujung berikutnya berupa industri khusus, akan semakin terlihat perbedaannya, itu dapat terlihat ketika terjadi persoalan yang mungkin sama secara jenisnya maka penjelasannya dan bentuk penerimaannya, akan bergerak dari yang sulit menuju ke yang lebih mudah, misalnya ketika kita berbicara mengenai peraturan perusahaan, maka pemahaman akan lebih sulit menerima menuju ke yang dapat cepat menerima. Namun sebaliknya ketika kita berbicara mengenai gaji maka pergeserannya jadi dari yang mudah menerima menuju ke sulit menerima. Demikian juga pada saat proses rekrutment karyawan maka arah pergeserannya dari yang cepat terekrut menuju sulit terekrut.

Dari uraian-uraian beserta contoh singkatnya diatas, akan terlihat jelas bahwa proses pengelolaan sdm perusahaan akan memberikan kontribusi kepada para pengelolanya apakah mereka “terjebak” dalam pekerjaan rutin atau para pengelolanya yang terus untuk melakukan perubahan, untuk itu bagi kita, para pengelola sdm perusahaan tentunya diberikan kesempatan untuk memilih pada garis lurus diatas untuk berada pada titik mana kita akan mulai bekerja sebagai pengelola sdm perusahaan.

                                                                    Anak Emas

Sebagaimana pernah dibahas sebelumnya mengenai politik kantor (Office Political) yang biasa terjadi dan selalu ada disetiap perusahaan. Seperti diketahui bahwa jika kita berbicara politik maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah adanya kepentingan bersama antara individu atau kelompok. Hal ini memang tidak bisa dihindari karena itu juga bagian dari strategi dari masing-masing personal maupun kelompok dalam mempertahankan posisi dan kelangsungan karir masing-masing. Hanya yang menjadi masalah adalah bagaimana dengan kinerja perusahaan sebagai akibat adanya aktivitas itu, karena tentu akan ada sisi negatif terhadap kerjasama tim dalam membangun perusahaan.

Namun yang hendak kita bahas kali ini adalah dampak dari adanya politik itu sendiri terhadap keharmonisan para pegawai karena salah satu yang menjadi indikasi terhadap itu adalah munculnya personal tertentu yang diberi kesempatan dan fasilitas lebih dibanding personal lain yang berada satu tim atau satu satuan kerja, padahal personal ini tidak mempunyai prestasi maupun kinerja yang lebih dibanding personal yang lain. Maka kepada personal yang diberi kesempatan dan fasilitas lebih ini sering disebut sebagai “anak emas”.

Keberadaan “anak emas” ini sering menjadi gonjang-ganjing dikalangan karyawan perusahaan karena secara kasat mata terlihat jelas perlakuan yang berbeda dari atasan kepada personal yang di “anak emas” kan, dan itu juga akan menjalar kepada kita para pengelola ke sdm an perusahaan untuk secara subyektif sering terpengaruh dalam mengambil tindakan terhadap personal dimaksud. Seiring dengan perjalanan waktu fenomena “anak emas” selalu ada disetiap perusahaan dan itu juga yang penulis alami sehingga sering terjadi pertentangan batin dalam hal mengambil tindakan karena jika ada satu tindakan yang dilakukan terhadap personal tersebut maka dalam waktu yang tidak lama, salah satu dari manajemen perusahaan akan menegur bahkan memarahi penulis, walaupun kita sudah beragumen sesuai ketentuan namun hal ini tidak merubah sikap yang bersangkutan bahkan akan menjadikan personal itu lebih tinggi kedudukannya dari kita.

Dampak yang timbul terhadap karyawan lain sangat besar terutama bagi mereka yang berada dalam satu tim atau setingkat satuan kerja, mereka sering mengungkapkan persoalan ini karena bagi mereka, ketika sudah bekerja dan mempunyai kinerja yang baik pun tidak menjamin karir mereka akan semulus “anak emas” dan dalam proses kegiatan pekerjaan, “anak emas” akan diberi keringanan sementara yang lain harus “jungkir balik” namun ketika ada pemberian reward atau penghargaan maka sang “anak emas” akan diberi prioritas untuk mendapatkannya. Rasa Keadilan itulah ungkapan para karyawan, yang terus wajib didengarkan oleh kita para pengelola ke sdm an perusahaan dan harus dicarikan solusi yang “win-win” agar ini tidak melebar kemana-mana. Solusi itu harus bisa menjembatani kepentingan semua karyawan karena dengan adanya rasa ketidakdilan akan mengakibatkan demotivasi karyawan bahkan yang paling parah adalah akan mengakibatkan hengkangnya tenaga-tenaga potensial yang berakibat tingginya turn over karyawan.

Untuk menghindari dampak yang akan terjadi, penulis mencoba untuk membuat solusi dengan melakukan evaluasi terlebih dahulu mengenai penyebab munculnya “anak emas” di beberapa perusahaan yang tentunya penulis pernah melihatnya dan memang terjadi secara jelas, ada beberapa hal sebagai penyebab tetapi tentunya tidak terbatas pada hal-hal dibawah, yaitu :

1.      Manajemen perusahaan senang melihat kinerja seorang pegawai yang lebih tinggi dari yang lain sehingga lebih fokus memberikan perhatian kepada mereka yang berkinerja tinggi tetapi melupakan atau lalai kepada personal lain yang seharusnya lebih diperhatikan untuk diberikan pembinaan agar kinerjanya bisa naik lagi, sehingga penilaian lingkungan menyatakan adanya “anak emas” dalam perusahaan.

2.      Bahwa personal yang menjadi “anak emas” masih punya hubungan kekerabatan dengan pemilik perusahaan sehingga manajemen tentunya punya sikap yang cenderung memberikan keistimewaan kepada personal itu, walaupun belum tentu pemilik perusahaan memberikan sinyal untuk hal itu. Dalam situasi dan kondisi seperti itu biasanya manajemen mengambil sikap “safety player” atau main aman-aman saja.

3.      Pihak manajemen punya kencenderungan untuk tertarik secara personal sehingga melahirkan “anak emas” baik itu karena penampilan atau bisa saja karena kinerja yang bersangkutan. Namun yang paling besar kecenderungannya adalah karena penampilan, dengan kecenderungan itu maka tercipta sebuah situasi dan kondisi dimana timbul penafsiran secara berbeda-beda oleh karyawan dan selalu kencenderungannya negatif.

4.      Memang juga ada karena terindikasi unsur SARA yang menjadikan seorang karyawan bisa mendapatkan perhatian yang berlebih dari manajemen perusahaan, hal ini sering mengakibatkan rawan tindakan negatif walaupun dapat saja hanya bersifat verbal dari lingkungan sekitar namun itu tentu saja merupakan awal dari adanya demo kecil-kecilan.

5.      Yang lebih membingungkan adalah ketika “anak emas” memberikan pendapat yang secara akal sehat dan logika kita tidak bisa diterima namun pihak managemen dengan tangan terbuka menerimanya secara langsung, biasanya kemampuan “anak emas” ini dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat supranatural.

Dari beberapa penyebab diatas, penulis lebih fokus untuk menyelesaikan penyebab nomor dua  dan tiga saja karena kedua penyebab itulah yang dominan terlihat oleh penulis namun jika ada hal lain diluar keduanya tidak bisa dideskripsikan oleh penulis, sehingga solusi dari keduanya yang menjadi dasar penulis dalam menyelesaikan atau meminimalkan dampak dari permasalahan “anak emas”.

Karena permasalahan ini sering diidentikan sebagai politik kantor maka sebaiknya kita juga harus mencoba masuk dalam pusaran itu untuk mengetahui lebih jauh lagi situasi dan kondisinya, karena untuk mencari solusi mau tidak mau harus mengeluarkan energi lebih lagi dan merupakan tantangan tersendiri bagi kita para pengelola ke sdm an perusahaan. Penulis berhasil membuat gambarannya untuk mengambil solusi berdasarkan data-data sebagai berikut :

 

1.       Seberapa dekat personal dimaksud dengan pemilik atau manajemen, agar bisa kita pikirkan bagaimana menjangkaunya, jika dekat maka kita dapat mengajak yang bersangkutan dalam memecahkan masalah-masalah umum yang ada di perusahaan. Jika tidak dekat maka kita dapat membawa yang bersangkutan dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak melibatkan orang lain, sehingga karyawan lain tidak dapat melihat secara langsung atas perbedaan perlakuan kepada yang bersangkutan.

2.      Bahwa perlu kita yakini tidak semua manajemen punya pandangan yang sama dalam memperlakukan “anak emas”, kita akan mendapatkan manajemen yang berbeda pandangan itu walaupun tidak secara terang-terangan, maka kepada dialah kita bisa menggantungkan harapan kita untuk merubah situasinya.

3.      Melakukan evaluasi terhadap struktur organisasi dan peraturan perusahaan yang berlaku di perusahaan.

Dari data-data yang didapat tersebut diatas maka penulis mencoba untuk membuat struktur organisasi yang baru dan melakukan pembuatan turunan dari peraturan perusahaan yang belum terlaksana, hal ini dikarenakan belum tersedianya turunan atau petunjuk pelaksana atas peraturan perusahaan, kedua kegiatan itu sebenarnya ada saling keterkaitan, sebagai contoh yaitu bagaimana akan menempatkan personal pada satu jabatan dikaitkan dengan struktur gaji dan mekanismenya yang diatur secara jelas didalam peraturan perusahaan. Kemudian kita sampaikan kepada pihak manajemen atas apa yang telah kita lakukan dengan alasan bahwa belum tersedianya faktor-faktor diatas. Selanjutnya jika pihak manajemen setuju maka tentunya kita minta ijin untuk melakukan sosialiasi kepada seluruh karyawan tanpa terkecuali.

Konsistensi adalah kata kunci dalam melaksanakan peraturan perusahaan beserta turunannya dan yang paling utama juga adalah ketika selesai sosialisasi maka data-data atau bahan sosialisasi harus mudah diakses oleh seluruh karyawan. Fenomena “anak emas” tidak mudah dihapus atau dihilangkan namun yang bisa dilakukan adalah bagaimana membuat bahwa seluruh manajemen perusahaan bisa berlaku adil terhadap semua karyawan, salah satunya adalah konsistensi dalam menerapkan peraturan perusahaan, pelaksanaan ini akan mudah apabila di perusahaan ada serikat karyawan atau lembaga lain yang berfungsi sebagai lembaga bipartit.

Ini mungkin hanya satu contoh atas apa yang penulis lakukan di satu perusahaan dalam menyikapi adanya fenomena “anak emas”, tentu ini bukan solusi satu-satunya karena bisa saja ada perbedaan dalam mencari solusi untuk meminimalkan fenomena itu di setiap perusahaan, yang perlu dan penting adalah bagaimana dan apa yang kita rencanakan, bisa diterima semua kalangan mulai dari manajemen sampai dengan karyawan pada tataran dibawah.

Kamis, 20 Oktober 2011

Kompensasi dan Benefit


Jika kita memperhatikan beberapa iklan lowongan kerja di beberapa media massa baik cetak maupun elektronik, maka ada beberapa lowongan yang membutuhkan tenaga yang khusus untuk mengelola tentang Kompensasi dan Benefit pada sebuah perusahaan, jadi demikian pentingnya pengelolaan tentang Kompensasi dan Benefit sehingga perusahaan dimaksud memerlukan  tenaga khusus dan tenaga yang dibutuhkan juga tidak sembarangan yaitu pada level Manajer. Dari pengamatan penulis mengenai perusahaan yang membutuhkan tenaga ini memang merupakan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki karyawan diatas seribu orang dan beragam tugas dan tanggungjawabnya dalam perusahaan serta dengan berbagai level atau tingkatan jabatan, namun tentu saja yang menjadi pertanyaan adalah apa yang melatarbelangkangi dibutuhkannya tenaga ini.

Seperti kita ketahui bersama bahwa mengelola Kompensasi dan Benefit adalah bagian dari pengelolaan Sumber Daya Manusia Perusahaan, Kompensasi adalah imbal jasa yang diberikan oleh perusahaan karena adanya hubungan kegiatan pekerjaan dan imbal jasa ini langsung diterima karyawan sementara Benefit adalah bentuk kompensasi yang tidak langsung diterima karyawan dalam bentuk materi tetapi merupakan fasilitas kesejahteraan. Untuk perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, pengelolaannya dilakukan langsung oleh Manajer HRD sedangkan untuk perusahaan besar, pengelolaannya memang dibuat khusus karena pengelolaan Kompensasi dan Benefit sangat erat kaitannya dengan strategi maupun kebijakan-kebijakan perusahaan. Pemberian Kompensasi kepada karyawan pada dasarnya diawali dari Visi,misi dan strategi unit kerja SDM sebagai pengelola, dan tentu saja bahwa unit kerja SDM membuat Visi,misi dan strategi tentunya juga berdasarkan dari Visi, misi dan strategi perusahaan, sebagai contoh adalah bagaimana para pengelola SDM berupaya mempertahankan seorang karyawan handal dengan memberikan imbal jasa yang sesuai dengan kontribusinya serta memberikan Benefit yang kompetitif, dengan bertahannya tenaga handal di perusahaan tentunya akan membuat target-target perusahaan dapat tercapai.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat sebuah sistim kompensasi diperusahaan yaitu :
1. Kompensasi harus memenuhi rasa keadilan bagi setiap karyawan ( Internally Equitable)
2. Mempunyai nilai dalam bersaing dengan nilai pasar tenaga kerja (Externally Competitiveness)
3. Pemberian Kompensasi akan menunjang keberhasilan perusahaan (Performance Driven)
4. Berdasarkan kemampuan perusahaan (Affordable)
5. Memenuhi perundangan yang berlaku (Legally Defensible)
6. Setiap orang mudah memahami dan mengerti akan sistim kompensasinya (Explainable)
7. Fleksibel terhadap perkembangan bisnis perusahaan (Managable)

Dengan sistim Kompensasi yang dibangun sedemikian rupa dan berdasarkan kepada hal-hal diatas maka tujuan dari pemberian Kompensasi akan tercapai yaitu :
• Memikat karyawan
• Mempertahankan karyawan
• Memotivasi karyawan

Untuk itu ada hal yang menarik untuk diperhatikan dan menjadi tantangan bagi para pengelola sistim Kompensasi adalah  bagaimana sistim Kompensasi mampu menjaga rasa keadilan (internal Equitable) dalam perusahaan dengan besaran nilai pasar tenaga kerja kerja (Externally Competitiveness), agar terjadi keseimbangan itu maka para pengelola Kompensasi berupaya melakukan maintenance terhadap sistim dan besaran nilai kompensasi yang ada didalam perusahaan. Salah satu kegiatan yang harus dilakukan adalah mengikuti survey gaji pada lembaga yang dinilai mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi dan lembaga  ini banyak terdapat di Indonesia, dan pada tulisan kali ini tidak terlalu banyak membahas mengenai kompensasi ini karena telah dibahas sebelumnya mengenai gaji atau penghasilan. Namun yang tidak kalah pentingnya juga adalah bagaimana melakukan perencanaan untuk mengelola program  Benefit didalam perusahaan dan dibawah ini akan dijelaskan mengenai hal dimaksud.
Pertimbangan strategik dalam perancangan program benefits
Para pengelola Benefit harus mempertimbangkan dengan hati-hati tentang apa yang ingin mereka capai sehubungan dengan program benefitsnya. Hal ini dikarenakan besarnya anggaran yang harus disediakan perusahaan untuk benefit. Untuk dapat mengungkit dampak dari anggaran yang besar tersebut, para pengelola harus memperhatikan beberapa hal besar dibawah ini :
  • Rencana strategik bisnis jangka panjang
Pada tahap perkembangan awal, perusahaan umumnya menawarkan gaji dasar dan benefit yang rendah, namun insentifnya besar. Sedangkan pada tahap dewasa, perusahaan akan lebih royal dalam ketiga bentuk kompensasinya. Selain itu, perubahan kondisi seperti downsizing, akuisisi, pemberhentian geografis, dan perubahan dalam laba juga akan berpengaruh dalam hal perubahan kombinasi optimum benefits, yang harus konsisten dengan rencana bisnis perusahaan.
  • Diversitas dalam angkatan kerja berarti ada diversitas dalam preferensi benefit
Karyawan muda umumnya lebih senang dengan pembayaran langsung daripada program pensiun. Sedangkan karyawan tua akan lebih senang yang sebaliknya. Karyawan yang memiliki serikat mungkin lebih senang dengan benefit yang seragam, sedangkan bagi yang memiliki cacat tubuh atau orangtua tunggal akan senang dengan jam kerja yang fleksibel.
  • Persyaratan legal
Pemerintah memiliki peran besar dalam mengatur benefits. Sementara perusahaan memfokuskan untuk mengendalikan biaya, pemerintah menginginkan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi rakyatnya.
  • Kekompetitifan dari benefits yang ditawarkan
Isu mengenai ini lebih besar dari isu kekompetitifan gaji. Dalam hal gaji, manajemen dan karyawan hanya perlu fokus pada pembayaran langsung, baik tetap maupun variabel. Sedangkan dalam hal benefits, fokus perusahaan adalah pada biaya, sementara karyawan berfokus pada nilai.
  • Strategi kompensasi total
Sesuai dengan tujuan utama penyusunan kompensasi, yaitu untuk mengintegrasikan gaji, insentif, dan benefit dalam satu paket yang mendorong pencapaian tujuan organisasional, maka benefit yang ditawarkan harus efektif dengan tujuan tersebut. Misalnya, benefit program pensiun saja mungkin tidak berpengaruh banyak bagi kinerja keseharian karena jauhnya jarak antara kinerja dengan waktu benefit diterima.
Dalam semua kasus, pertimbangan kecukupan, kesamaan, pengendalian biaya, dan keseimbangan harus menuntun pengambilan keputusan dalam strategi kompensasi total diatas. Ada beberapa komponen kunci dari paket benefits, yaitu :
   a. Biaya : berdasarkan survei pada tahun 2000, rata-rata prosentase benefits dari gaji adalah 30%. Jumlah ini bervariasi sesuai ukuran perusahaan. Perusahaan besar umumnya memberi benefits lebih banyak.
b. Benefit kesehatan dan keamanan : termasuk didalamnya berbagai jenis asuransi, tunjangan Kesehatan,pensiun, izin sakit, dana pensiun, dan lain sejenisnya.
1. Asuransi jiwa : Asuransi ini biasanya diperbarui setiap satu tahun dan akan dihentikan apabila karyawan keluar dari perusahaan. Besarnya nilai asuransi umumnya sekitar dua kali gaji tahunan karyawan. Saat ini, asuransi jiwa banyak dipengaruhi oleh program benefit fleksibel. Misalnya, perusahaan membayar sekian untuk asuransi jiwa karyawan, namun ada beberapa paket tambahan yang dapat dipilih karyawan sesuai preferensinya dan nantinya akan dipotong dari gaji.
2. Kompensasi pekerja : yang termasuk didalamnya adalah pembayaran untuk menggantikan upah yang hilang, biaya kesehatan media dan rehabilitasi, dan pelatihan ulang utnuk melakukan pekerjaan yang berbeda. Umumnya di setiap negara ada Undang-Undang yang mengatur mengenai kompensasi ini.
3. Asuransi kecacatan : yaitu mencakup pembayaran atas kematian yang tidak disengaja, serta pembayaran apabila karyawan mendapat kecacatan. Cacat jangka panjang (6 bulan atau lebih) biasanya membayar tidak lebih dari 60% dari gaji dasar karyawan sampai mereka mulai menerima dana pensiun.
4. Tunjangan rumah sakit, operasi, dan maternitas : ini adalah tunjangan yang sangat penting bagi karyawan karena biayanya bisa sangat besar. Tentu saja, sama dengan perusahaan, biaya operasional dari tunjangan ini bisa memberatkan, mengurangi laba, dan mengurangi kekompetitfan perusahaan secara global. Isu-isu kompetitif dari biaya kesehatan ini umumnya parah pada perusahaan dengan jumlah pekerja berusia 40-50 tahun yang banyak, tunjangan kesehatan yang lebih banyak bagi karyawan yang telah pensiun, dan perusahaan dengan produk yang harus bersaing dalam pasar dunia.Apabila perusahaan ingin mengurangi biaya besar yang ditimbulkan dari tunjangan rumah sakit, operasi, dan maternitas diatas, perusahaan dapat melakukan beberapa strategi biaya seperti :
a. Bergabung dengan perusahaan lain untuk membentuk hubungan yang lebih kuat dalam menegosiasikan biaya-biaya rata-rata dengan insurer.
b.  Bekerjasama dengan rumah sakit, insurer, dan pemasok lainnya.
5. Program izin sakit : menyediakan pergantian upah atas ketidakhadiran jangka pendek karyawan akibat sakit. Dalam prakteknya, benefit ini sering disalahgunakan oleh karyawan. Mereka sering memandang bahwa izin sakit adalah hak yang harus digunakan meskipun mereka tidak sakit. Untuk mengatasinya, perusahaan dapat beralih ke program “managed-disability”.
6. Pensiun : adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur pada intervalnya kepada karyawan yang telah pensiun dan berhak menerimanya. Pensiun swasta jarang ditemui sebelum Perang Dunia II, sebelum adanya peraturan dari National Labor Relations Board dan klarifikasi mengenai perlakuan pajak dari kontribusi perusahaan. Di Amerika saat ini, dana pensiun yang disisihkan perusahaan telah menjadi sumber modal terbesar negara.
7. Keamanan sosial : adalah program perawatan pendapatan. Ini adalah pertahanan terbaik dalam mengatasi ketidaksejahteraan orang-orang tua. Pajak pendapatan yang diperoleh dari pekerja yang masih bekerja didistribusikan untuk membayar benefits bagi mereka yang telah pensiun. Saat ini perbandingan antara mereka yang masih bekerja masih 3:1, namun akibat ekspektasi hidup yang semakin panjang dan peningkatan jumlah pensiunan dari baby boomers, pada tahun 2030 diprediksikan bahwa pajak keamanan sosial hanya akan menutupi 75% dari benefits yang dijanjikan. Meskipun Social Security ini tidak menutupi semua kebutuhan pensiunan (hanya sekitar 45% di US, sisanya dari tabungan pribadi atau dana pensiun), namun sistem ini mungkin harus segera direformasi untuk menangani ketersediaan dana beberapa tahun mendatang.
8. Asuransi pengangguran : Di negara-negara maju, pekerja umumnya memiliki benefit ini. Namun demikian, ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi agar pengangguran berhak menerimanya. Syarat-syarat tersebut bervariasi di setiap negara, namun biasanya berupa (1) pekerja harus mampu, mau, dan aktif mencari pekerjaan, (2) pekerja tidak boleh menolak pekerjaan yang sesuai dengannya, (3) bukan menjadi pengangguran akibat perseteruan pekerja, (4) tidak boleh meninggalkan pekerjaan, (5) bukan diberhentikan karena kesalahan dalam pekerjaan, dan (6) harus telah pernah bekerja sebelumnya dan menghasilkan sejumlah uang.
Dana yang digunakan untuk benefit ini berasal dari pajak yang ditanggung perusahaan atas klaim dari karyawan maupun tingkat turnover yang tinggi.
9. Pembayaran severance : tidak diwajibkan secara hukum dan banyak perusahaan tidak menawarkannya karena telah ada kompensasi pengangguran. Namun program ini digunakan secara ekstensif oleh perusahaan yang melakukan downsizing. Misalnya, perusahaan memberi tambahan beberapa bulan gaji apabila karyawan setuju untuk pensiun sesuai waktu yang disepakati, contoh lainnya dalam hal takeover, apabila yang diberhentikan adalah setara top manajemen, mereka akan menerima pesangon yang besarnya mencapai 2-3 tahun gaji mereka.
10. Pembayaran atas waktu-waktu tidak bekerja : yang termasuk didalamnya adalah saat liburan, cuti, dan waktu melapor. Karyawan level atas di perusahaan-perusahaan raksasa banyak yang mendapat kebebasan untuk berlibur kapan saja.
11. Layanan karyawan : beberapa contohnya adalah bantuan konseling, layanan makan, mobil perusahaan, fasilitas olah raga, rencana pembelian saham, transportasi, bantuan adopsi, seragam, bantuan hukum, penjagaan anak, bonus natal, fasilitas kredit, jam kerja fleksibel, dan lain sebagainya.

Mengenai program benefit ini sekali lagi sangat tergantung dari keuangan perusahaan namun jika ada kemampuan perusahaan tidak ada salahnya seluruh program benefit diatas bisa kita laksanakan.


Selasa, 04 Oktober 2011

Balance Scorecard


Beberapa rekan dalam milis sering bertanya tentang satu alat ( tool ) yang digunakan oleh perusahaan untuk mengukur kinerjanya, yaitu apa yang disebut dengan Balance Scorecard, tool ini ramai dibicarakan pada awal tahun dua ribuan dan saat ini juga banyak perusahaan yang menggunakan tool ini, hanya saja berdasarkan pengalaman penulis, penggunaan tool ini tidak semudah dibayangkan, pada dasarnya banyak kendala yang muncul pada saat merealisasikan program yang menggunakan tool ini. Namun tidak ada salahnya bagi mereka yang ingin mengetahui mengenai alat (tool) ini, akan dijelaskan secara garis besar mengenai apa dan bagaimana Balance Scorecard digunakan.
Prinsip dari Balance Scorecard adalah bagaimana mengukur kinerja perusahaan dengan mengaitkan atau membentuk satu kesatuan pengukuran yang melibatkan seluruh komponen perusahaan dalam artian apabila satu unit kerja mengalami kendala maka tentu akan mempengaruhi kinerja unit kerja lainnya sehingga akan berdampak kepada kinerja perusahaan secara keseluruhan, demikian juga sebaliknya bahwa keberhasilan satu unit kerja itu disebabkan oleh adanya kontribusi dari unit kerja lainnya. Agar pengukuran ini tidak rumit dalam menentukan target-targetnya maka sang pembuat tool ini yaitu : Robert S Kaplan dan David P Norton merumuskan dalam bentuk 4 (empat) Perspektif (perspective), dan keempat perspektif itu adalah :
1.    Perspektif Keuangan ( Financial Perspektif ), yaitu mengukur kemampulabaan dan nilai pasar (market value) diantara perusahaan-perusahaan lain, sebgai indikator seberapa baik perusahaan memuaskan pemilik dan pemegang saham. Dalam kaitan perspektif ini yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana peningkatan kinerja keuangan atau apa sasaran keuangan kedepan.
2.    Perspektif Pelanggan ( Customer Perspektif ), yaitu mengukur mutu, pelayanan, dan rendahnya biaya dibandingkan dengan perusahaan lainnya, sebagai indikator seberapa baik perusahaan memuaskan pelanggannya. Dalam kaitan perspektif ini yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana tanggapan pelanggan (customer) kita atas pemberian nilai (value) yang lebih.
3.    Perspektif proses bisnis internal (Internal business process perspektif), yaitu mengukur efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memproduksi barang dan jasa. Dalam kaitan perspektif ini yang sering menjadi pertanyaan adalah apakah kita telah meningkatkan proses bisnis sehingga mampu memberikan nilai lebih kepada pelanggan.
4.    Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Learning and Growth perspektif), yaitu mengukur kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya manusia sehingga tujuan strategik perusahaan dapat tercapai untuk waktu sekarang dan masa yang akan datang. Dalam kaitan perspektif ini yang sering menjadi pertanyaan adalah apakah kita memelihara kemampuan seluruh personil untuk mengubah dan meningkatkan sesuatu hal.

Untuk merealisasikan dan menggunakan keempat perspektif ini maka setiap perusahaan harus mempunyai visi, jika belum ada maka harus dibangun dulu mengenai visinya kemudian diuraikan dan diaktualisasikan kedalam keempat perspektif tersebut, tetapi jika uraian visi yang dibuat memerlukan perspektif lain maka tentunya diperlukan penambahan perspektif baru maka dapat saja ditambah menjadi 5 (lima) perspektif dan itu bisa dibuat sendiri agar nantinya dapat menunjang keberhasilan dalam mencapai visi yang sudah ditetapkan. Setelah uraian visi dibangun kedalam setiap perspektif maka selanjutnya dibuatlah strategi (strategic aims/strategic objective) untuk setiap pencapaian yang dicanangkan pada masing-masing perspektif. Untuk dapat mencapai sasaran sesuai strategi yang dibangun maka kita harus membuat faktor-faktor kritikal yang menunjang keberhasilan pencapaian sasaran sesuai strategi atau apa yang disebut Critical Success Factors (CSFs), kemudian faktor-faktor tersebut diturunkan menjadi ukuran-ukuran keberhasilan dan selanjutnya berdasarkan ukuran-ukuran keberhasilan ini maka dibangunlah rencana kerja (Action Plan). Setelah terbangun semuanya maka kepada seluruh unit kerja yang ada di perusahaan mengambil peran masing-masing untuk memenuhi ukuran yang ditetapkan diatas, caranya adalah setiap unit kerja membuat ukuran-ukuran target unit kerja dan hal ini yang disebut dengan Key Performance Indicator ( KPI). Selanjutnya dari KPI inilah maka dapat diukur kinerja individu (Perfomance Appresial) dengan demikian model pengukuran ini dapat berjenjang dimulai dengan penyusunan target top-down kemudian penilaiannya berdasarkan bottom-up.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa Balance Scorecard juga merupakan jalur komunikasi dua arah top-down, sehingga setiap karyawan dapat mengetahui mengenai visi-misi perusahaan berserta terjemahannya dari misi dan strategi perusahaan maupun unit kerja dan ini juga sekaligus bahwa setiap tujuan dan target perusahaan terkomunikasikan dengan baik sampai dengan lapis bawah. Disisi lain keempat perspektif dari Balance scorecard  memungkinkan terjadinya keseimbangan yang meliputi :
1.       Tujuan jangka pendek dan jangka panjang
2.       Tolok ukur eksternal para stackeholder dikaitkan dengan tolok ukur internal dari proses bisnis internal,inovasi serta pembelajaran dan pertumbuhan
3.       Hasil yang diinginkan dan pemicu kinerja ( performance drivers) dari hasil (outcomers) tersebut
4.       Setiap tolok ukur dengan subjeknya

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pengukuran merupakan alat untuk mengendalikan perilaku dan untuk menilai kinerja masa lalu. Namun tolok ukur dalam Balance scorecard harus digunakan dengan cara yang lain. Tolok ukur Balance scorecard harus digunakan untuk menerjemahkan strategi usaha, untuk mengkomunikasikan strategi usaha kepada karyawan, dan membantu menyelaraskan rencana tindakan individu, organisasional, dan antar unit kerja untuk mencapai tujuan bersama. Dengan penggunaan seperti ini scorecard bukan berusaha untuk mempertahankan individual dan unit kerja sesuai dengan rencana yang ditetapkan terlebih dahulu, melainkan Balance scorecard harus digunakan sebagai bagian dari sistem manajemen yang lebih besar untuk komunikasi, berbagi informasi dan pembelajaran. Keberagaman tolok ukur dalam Balance scorecard tampaknya membingungkan akan tetapi scorecard yang dibangun dengan tepat seperti yang kita lihat, terdiri dari kesatuan tujuan (Unity of Purpose); semua tolok ukur diarahkan untuk mencapai strategi yang terintegrasi.
Bagaimana peran kita sebagai pengelola SDM Perusahaan, tentunya tidak jauh berbeda dengan para pengelola lainnya dalam perusahaan yaitu turut membangun scorecard berdasarkan unit kerjanya dan individual, tetapi bahwa ada hal yang dominan yang harus dilakukan yaitu. membangun tolok ukur dalam perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan secara keseluruhan dalam perusahaan. Peran para pengelola SDM perusahaan menjadi strategis karena salah satu dari keempat prespektif itu merupakan domainnya, sehingga keberhasilan dari kinerja perusahaan yang diukur menggunakan Balance scorecard adalah salah satunya bagaimana mengukur pengelolaan karyawan, melalui pembelajaran dan pertumbuhan.
Untuk mendorong pembelajaran dan pertumbuhan maka dibutuhkan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kapabilitas pekerja (employee capability)
2. Kapabilitas sistim Informasi (information systems capabilities)
3. Motivasi,pemberdayaan, dan keselarasan (Motivation,empowerment, and alignment)
Ketiga pendorong tersebut merupakan syarat mutlak yang harus ada ketika akan dilakukan program scorcard  terutama yang berkaitan dengan pengelolaan SDM, artinya orang yang bekerja harus  mempunyai kapasitas dalam melakukan pekerjaannya dan ini bisa diukur melalui pengukuran kinerja (performance appraisal), hasil pengukuran harus terdata baik dalam sebuah sistim informasi terpadu serta adanya sistim penglolaan SDM yang komprehensif yang mampu mendorong setiap individu terus memacu kinerjanya untuk mencapai target dirinya maupun perusahaan. Dibawah ini sebuah contoh sederhana mengenai balance scorcard yang mengacu kepada pengelolaan SDM ;
Setelah suatu strategi diuraikan menjadi alat pengukuran dan kemudian diaplikasikan kedalam keempat perspektif untuk perspektif keuangan mempunyai tolok ukurnya ROCE ( Return on Capital Employed ), dorongan terhadap ROCE ini dapat berupa penjualan yang berulang dan penjualan yang diperluas dari pelanggan yang ada sekarang artinya ada bentuk loyalitas pelanggan dan loyalitas inilah yang kemudian menjadi tolok ukur dari perspektif pelanggan, karena loyalitas pelanggan diharapkan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap ROCE, akan tetapi bagaimana organisasi mencapai loyalitas pelanggan ? Analisis preferensi pelanggan dapat mengungkapkan bahwa pengiriman yang tepat waktu atas pesanan sangat dihargai pelanggan. Dengan demikian, memperbaiki waktu pengiriman yang tepat waktu diharapkan mengakibatkan loyalitas pelanggan bertambah, yang pada gilirannya, diharapkan mengarah pada kinerja keuangan yang lebih tinggi. Maka baik loyalitas pelanggan ataupun pengiriman yang tepat waktu digabungkan dalam perspektif pelanggan dari scorecard.
Proses berlanjut dengan menanyakan proses internal apa yang harus menjadi keunggulan perusahaan dalam mencapai waktu pengiriman tepat waktu yang lebih baik, perusahaan perlu mencapai waktu siklus yang pendek dalam proses operasi dan proses internal yang bermutu tinggi, kedua faktor tersebut dapat berlaku sebagai tolok ukur scorecard dalam perspektif proses usaha internal. Dan bagaimana organisasi memperbaiki mutu dan mengurangi waktu siklus dari proses internal mereka tentunya dengan melatih dan memperbaiki keterampilan karyawan unit operasi, suatu sasaran dapat merupakan kandidat untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.