Minggu, 26 September 2010

Gaya Manajemen


Jika kita termasuk orang yang sering membaca buku-buku manajemen, tentu sering kita temui atau dituliskan berbagai pola manajemen yang dilakukan oleh perusahaan, baik yang ada didalam negeri maupun diluar negeri dengan hasil yang dicapai oleh masing-masing perusahaan dan biasanya selalu terungkap sebuah kesuksesan dalam mengelola perusahaan dengan pola manajemen A tetapi dilain pihak tidak sedikit juga perusahaan yang gagal menerapkan pola manajemen A di perusahaannya masing-masing. Kesuksesan dan kegagalan dalam menerapkan pola manajemen tertentu di perusahaan tentunya sangat dipengaruhi atau tergantung dari siapa orang yang bertanggung jawab dalam perusahaan, dengan demikian ketika kita berbicara kepada subjeknya maka kita bicara kepada gaya manajemen dari orang yang mengelola sebuah perusahaan.

Penerapan sebuah pola manajemen akan bersifat relatif ketika hal ini dikaitkan dengan kesuksesan maupun kegagalan seseorang dalam mengelola sebuah perusahaan, ini bisa saya rasakan ketika masuk ke sebuah perusahaan yang dalam dalam operasionalnya sehari-hari sangat banyak diintervensi oleh pimpinan perusahaan (Direktur). Gaya manajemen seperti ini ternyata mengakibatkan tidak adanya sistim yang baku, semua tergantung dari keputusan yang selalu diberikan oleh pimpinan perusahaan bahkan dalam operasional sehari-haripun semua sangat tergantung dari perintahnya, sehingga ketika semua karyawan operasional akan melakukan kegiatan minimal harus mendapat persetujuan atau minimal arahannya, akibatnya sudah bisa ditebak bahwa hampir tidak ada ide yang muncul, yang paling parah adalah pimpinan unit harus melaporkan sesuatu kegiatan operasionalnya yang menjadi tanggung jawabnya hampir setiap saat, terkesan sang pimpinan perusahaan adalah orang yang bertipe “One Man Show”. Mungkin gaya konservatif ini cukup berhasil dilakukan pada masa lalu dimana pada saat itu merupakan era pemilik modal merupakan pimpinan tertinggi dari sebuah perusahaan dan semua karyawan atau pegawai, tidak diperkenankan untuk memberi pendapat bahkan memberikan pendapat merupakan sebuah bentuk perlawanan atau pembangkangan terhadap pimpinan perusahaan. Bukan tidak mungkin bahwa sampai saat inipun perusahaan-perusahaan seperti diatas masih banyak menggunakan orang-orang yang bergaya manajemen one man show atau manajemen konservatif, hal ini bisa dilihat dengan banyaknya perseteruan antara karyawan dan pimpinan dalam bentuk demo menuntut keadilan.

Sebagai bahan acuan mengenai gaya manajemen saya coba memberi gambaran mengenai apa dan bagaimana gaya manajemen itu, hanya saja tentunya, dalam tulisan ini saya tidak mengarahkan atau memberikan pilihan yang terbaik karena lagi-lagi semua berpulang kepada kita,mana yang mau kita ambil untuk dicoba pada perusahaan masing-masing, namun dilain pihak hal-hal dibawah, mudah-mudahan akan memberikan gambaran yang mampu memberikan manfaat kepada kita sehingga semua akan mendapat kesuksesan dalam mengelola sebuah perusahaan di masa yang akan datang.

Gaya Manajemen “Whitespace” Versus “Traditional Blackspace”

Menurut ilmu psikologi,manusia pada umumnya menggunakan dua pendekatan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari,yaitu mereka yang cenderung bertindak sesuai rencana atau aturan formal. Kedua,mereka yang lebih memilih untuk bertindak secara spontan,penuh kebebasan dan tidak bersedia diikat oleh segala bentuk keteraturan.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan karakateristik suatu perusahaan. Kita ambil contoh 2 perusahaan yang pernah melakukan pembenahan organisasi. Perusahaan pertama,memulai program pembenahan dengan merancang strategi yang sangat jelas,lengkap dengan rincian kerja. Segala sesuatu harus tertuang dalam blue print yang telah disepakati. Evaluasi pun didasarkan pada rencana yang sudah dibuat. Gaya manajemen seperti ini lazim disebut sebagai blackspace approach,ibarat suatu kertas yang telah penuh dengan tinta rencana. Oleh karena itu,perusahaan yang cenderung menggunakan pendekatan ini seringkali disebut sebagai traditional blackspace company.

Sementara perusahaan kedua,memulai program pembenahan hanya dengan merancang visi,misi,atau output akhir. Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing orang dengan harapan agar karyawan memilki komitmen kuat terhadap pencapaian tujuan bersama. Ibarat kertas kosong putih tanpa goresan tinta rencana apapun, perusahaan dengan pendekatan gaya manajemen seperti ini biasa disebut sebagai whitespace company.

Tentu sampai sebatas ini,akan banyak argumen-argumen pro dan kontra terhadap pendekatan gaya manajemen whitespace. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika suatu proyek dikerjakan tanpa ada aturan,rencana dan budget yang jelas.? Bukankah sebuah pekerjaan akan lebih berhasil dilakukan jika ada prosedur,strategi, dan arahan yang jelas? Bukankah pendekatan ini sangat beresiko gagal dan sulit diukur tingkat keberhasilannya karena lebih didasarkan pada trial and error?

Semua argumen diatas ada benarnya,namun tidak berarti gaya manajemen traditional blackspace lebih baik dari gaya whitespace. Bahkan banyak proyek-proyek yang justru berpotensi lebih sukses jika menggunakan gaya manajemen whitespace, yaitu proyek-proyek yang memburu inovasi produk,pasar,dan sistim kerja baru. Selain itu gaya manajemen ini juga akan lebih sesuai untuk proyek-proyek yang membutuhkan kreativitas,antusiasme,kepercayaan dan uji coba berulang.

Seperti misalnya yang dilakukan oleh sebuah tim kerja di salah satu perusahaan software ternama yang bermaksud meluncurkan produk-produk yang dapat di download secara otomatis melalui internet. Ide ini pada awalnya tidak mendapatkan legitimasi dari mayoritas manajer,dalam arti ditolak karena dianganggap mengganggu penjualan produk yang sudah ada. Namun,tim khusus ini tetap melanjutkan proyek tersebut dengan mempertaruhkan “personal risk”. Mereka secara diam-diam tetap berusaha supaya ide ini terwujud walaupun tanpa dukungan siapapun. Ketika mereka menunjukkan hasil kerjanya kepada salah satu manajer senior (yang notabene bukan atasan langsung),mereka mendapat dukungan penuh walaupun hanya dari satu orang dan ternyata produk tersebut justru mendongkrak angka penjualan.

Memang harus diakui bahwa manajer di traditional blackspace company dapat memiliki sense yang jelas mengenai budget,resources dan legitimasi. Sementara whitespace manager harus memohon,meminjam bahkan sringkali mengambil secara diam-diam segala sesuatu yang mereka butuhkan. Oleh karena itu,seorang manajer perlu mengetahui beberapa strategi jika ingin menerapkan gaya manajemen whitespace. Langkah pertama dan yang paling utama adalah mengetahui kapan saat yang tepat untuk meninggalkan gaya manajemen traditional blackspace dan pindah ke whitespace approach. Tanpa melakukan evaluasi yang didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu,pendekatan ini memiliki resiko gagal yang cukup besar.

Langkah selanjutnya adalah mengenali tantangan-tantangan unik yang mungkin muncul di perusahaan anda sehubungan dengan akan diterapkan gaya manajemen whitespace,misalnya tantangan birokrasi,legitimasi,dana, atau sumber daya manusia yang cukup berani mengambil resiko dan kreatif. Jadi,termasuk manakah gaya manajemen anda?

Ada baiknya kita juga mendengarkan pemikiran seorang pemilik perusahaan “nyentrik” bernama Bob Sadino, yang mengatakan bahwa dalam mengelola sebuah perusahaan tidak perlu melakukan perencanaan tapi biarkan saja mengalir seperti air, karena menurut beliau, jika kita membuat sebuah perencanaan berarti kita sedang merencanakan sebuah kegagalan. Ketika ditanya apakah itu artinya kita akan menghadapi resiko yang besar karena jika kita tidak melakukan perencanaan maka kita tidak dapat meminimalkan resiko, menurut beliau, apapun yang kita lakukan tentunya akan menghadapi resiko dan itu dapat diartikan kita harus siap dengan resiko.

Rabu, 22 September 2010

Entry Point Man

Saat dipercayakan untuk mengela Sumber Daya Manusia sebuah perusahaan dengan jumlah karyawannya tidak lebih dari 100 orang maka yang terbersit tentu pekerjaan ini akan dapat dikerjakan tanpa hambatan yang signifikan, hal ini mengacu kepada pengalaman ketika mengelola SDM yang jumlah karyawannya diatas seribu orang yang secara kuantitas sangat besar sehingga permasalahanpun akan lebih besar juga. Namun kenyataan mengelola SDM tidak sama dengan ilmu pasti, semakin besar yang dikelola tentu akan semakin besar juga masalah yang dihadapi, statement tersebut bisa benar bisa juga tidak karena sangat tergantung dari beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan SDM perusahaan, untuk itu ada beberapa variabel yang berpengaruh dalam mengelola Sumber Daya Manusia antara lain :

1. Latar belakang pendidikan setiap orang yang berbeda akan membuat pola pikir seseorang berbeda dengan yang lain dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari terutama bagi mereka yang belum punya pengalaman bekerja.

2. Usia dari seluruh karyawan yang bervariasi tentu akan menentukan kedewasaan atas setiap tindakan setiap karyawan

3. Intelligent Quotient (IQ) dan Emotionally Intelligence (IE) seorang yang lain tentu berbeda-beda, tentu akan berpengaruh kepada kemampuan memecahkan masalah dan kerjasama tim.

4. Area atau lokasi kegiatan pekerjaan, sangat berbeda orang yang bekerja di Kantor dengan orang yang bekerja di Pabrik apalagi dengan orang yang bekerja di Pertambangan yang merupakan remote area

Dan masih banyak lagi variabel lain namum dengan 4 (empat) point diatas sudah cukup kiranya mewakili semua variabel yang ada didalam masyarakat kita. Dengan demikian tugas pengelola SDM harus mampu mengidentifikasi varibel-variabel dimaksud dari setiap karyawan agar setiap informasi yang disampaikan dapat difahami dan dimengerti oleh seluruh karyawan dengan persepsi yang sama namun bukan hal yang mudah ketika kita ingin semua karyawan mempunyai kesamaan dalam menyikapi sebuah budaya kerja dalam perusahaan. Jadi jelaslah bahwa semakin banyak karyawan yang harus dikelola akan semakin banyak permasalahan yang akan dihadapi, tetapi apakah demikian ? sebuah pertanyaan yang menarik karena beberapa manager tentu akan berbeda dalam menyikapi hal ini, mereka berpendapat bahwa jika karyawan sedikit tapi basic pendidikannya rendah dan peralatan yang dihadapi sedikit berteknologi maka adaptasinya akan cukup lama sehingga waktu produksi akan bertambah. Selain itu terkadang perbedaan usia antara tingkat manajer dan tenaga pelaksana yang terlalu jauh perbedaannya mengakibatkan sring terjadinya salah pengertian sehingga terjadi gesekan yang sebenarnya tidak perlu terjadi karena bagaimanapun tingkat kedewasaan dalam berpikir terkadang menjadi kendala dalam operasional sehari-hari, selain itu jika terjadi perbedaan usia yang terlalu jauh maka akan terjadi lobang usia ditengah yang berdampak tidak berjalannya suksesi atau juga pada suatu saat perusahaan akan kehilangan karyawan pada saat yang bersamaan karena terjadinya pemberhentian karyawan karena usia pension. Idealnya dalam hal usia adalah berjenjang seperti anak tangga yang setiap anak tangga mempunyai perbedaan usia tidak lebih dari 3 (tiga) tahun,

Ketika mengelola karyawan yang berjumlah kurang lebih seratus orang namun karena area atau lokasi pekerjaan berada pada remote area maka faktor yang dominan adalah budaya kerja dan bahasa, perubahan dimaksud adalah budaya pertanian dirubah menjadi budaya industri, budaya ini sifatnya homogen, dilain pihak ada lagi budaya yang berkaitan dengan adat istiadat yang berpengaruh pada prilaku karyawan dalam bekerja sehingga mengganggu produktivitas, seperti misalnya untuk hari tertentu jadwal kerja harus sampai jam 18.00 saja akibatnya produksi harus menyesuaikan terhadap hal tersebut. Selain itu ada kebiasaan penduduk lokal untuk membawa senjata tajam termasuk dalam bekerja sehingga tidak jarang apabila terjadi pertengkaran akan dengan cepat menggunakan senjata tajam untuk menyerang lawannya masing-masing.akibatnya seringkali berujung pada kematian. Belum lagi tingkat pendidikan para penduduk lokal yang seringkali membuat kita para pengelola Sumber Daya Manusia kesulitan memberi pengertian terutama pada penggunaan bahasa setempat, secara teknis pengelolaan SDM di remote area seperti ini walaupun jumlahnya tidak banyak namun akan mengalami permasalahan yang lebih banyak pada hal non teknis dalam pengelolaannya. Hal ini tentu berbeda dengan pengelolaan SDM pada perusahaan yang berada di area perkotaan, dengan tingkat pendidikan dan budaya kerja yang beragam tentu akan mudah kita kelola dengan metode teknis dalam pengelolaan SDM.

Maka dapat dibayangkan ketika kendala diatas terjadi secara bersamaan maka mengelola SDM yang sedikit dengan permasalahan sedemikian banyak, diperlukan pemikiran yang ekstra. Berkaitan dengan pengelolaan SDM pada perusahaan dengan lokasi di remote area dan dengan jumlah karyawan yang kecil, maka sejak awalnya banyak kendala yang dihadapi karena banyak karyawan yang sulit berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga sering terjadi salah pengertian, salah satu kesulitan ini berakibat timbulnya ketegangan-ketegangan tidak hanya dari karyawan itu sendiri tetapi juga setiap masalah yang timbul ternyata juga terakses oleh masyarakat sekitar yang mungkin saja mudah terprovokasi oleh hal-hal yang bernada negatif, masyarakat mudah tersulut oleh hal-hal yang dianggap negatif karena ini juga dikarenakan mereka juga menginginkan diberi kesempatan untuk bekerja pada perusahaan namun tidak bisa karena formasinya belum ada, terkadang mereka selalu mencoba dengan sedikit tekanan bernada ancaman kepada HRD,tetapi dengan kesabaran bagian HRD terus menerus memberikan pengertian bahwa formasi belum ada. Kejadian seperti ini akan muncul ketika saya harus melakukan perubahan-perubahan untuk meningkatkan kinerja terutama mengenai perubahan budaya kerja, mereka yang selama ini merasa nyaman, mulai terusik dan berusaha untuk mempengaruhi rekan kerja yang lain. Jika terjadi ketegangan-ketegangan dan para security juga tidak mampu mengatasinya maka metode yang digunakan para pemilik modal adalah dengan melakukan tindakan Represif yaitu dengan meminta bantuan dari para preman lokal atau aparat Kepolisian untuk menjaga perusahaan namun buat saya, metode ini hanya bersifat temporer saja, karena perusahaan tidak bisa terus menerus menempatkan aparat disekitar area perusahaan secara terus menerus karena hal ini akan selain berdampak pada biaya tinggi juga suasana kerja akan terganggu tetapi ibarat buah simalakama jika aparat meninggalkan area perusahaan maka masyarakat sekitar kembali datang untuk mengganggu. Saat itu saya harus mencari metoda yang mampu menyelesaikan masalah ini karena bagaimanapun apabila terus menerus diganggu maka kenyamanan semua karyawan juga terganggu dalam bekerja, hal ini merupakan tanggung jawab HRD untuk tetap fokus membuat situasi kembali nyaman sehingga produktivitas karyawan tetap terjaga. Yang paling ideal untuk menyelesaikan masalah itu adalah dengan metode pendekatan personal, namun metode ini juga bukan tanpa kendala karena sebagai HRD di Perusahaan, saya tidak mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam strata sosial mereka sehingga saat itu saya harus mencari orang yang mampu menjembatani kedua pihak yaitu perusahaan dan masyarakat sekitar. Mencari orang yang tepat untuk menjembatani kedua pihak bukan juga perkara yang mudah karena orang ini harus betul-betul berada ditengah-tengah tanpa memihak kemanapun dan selalu harus mampu menetralisir keadaan yang bisa saja terjadi setiap saat, jadi tugas orang ini tidak bisa sementara saja namun harus betul-betul siaga sampai dengan terbangun kemitraan yang baik.

Pencarian itu saya realisasikan dengan menyeleksi para karyawan karena jika ada pihak ketiga maka biasanya persoalan akan menjadi rumit dan berujung pada biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, Pada saat itu saya menyeleksi karyawan yang mempunyai pengaruh di lingkungan karyawan itu sendiri namun yang paling ideal adalah mereka juga yang mempunyai pengaruh pada lingkungan sosial masyarakat sekitar perusahaan, proses pencarian ini sebenarnya tanpa diketahui oleh siapapun termasuk Direksi karena bagi saya ada kekhawatiran jika hasilnya nanti karyawan yang terpilih malah tidak dapat disetujui oleh Direksi, proses terus berjalan dalam waktu kurang lebih 2 (dua) minggu berhasil didapat orang yang sesuai kriteria yang kemudian saya berikan tugas tambahan untuk menjembatani apabila ada permasalahan antara perusahaan dan Karyawan serta masyarakat sekitar. Proses perubahan yang dilakukan dengan dijembatani orang lain ternyata mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi hal ini bisa dinilai yaitu dalam semester kedua semua sudah berjalan optimal dengan indikator kinerja meningkat serta peningkatan produksi yang juga dengan rendahnya biaya produksi, hal itu bisa tercapai tentu dengan terus menerus menanamkan nilai-nilai budaya kerja atau budaya perusahaan. Keberhasilan ini tentu merupakan suatu prestasi buat HRD namun yang paling penting dibalik keberhasilan itu adalah bentuk keberhasilan ketika melakukan seleksi memilih orang yang akan dijadikan entry point karena kunci kesuksesan ada pada orang ini. Metode pendekatan seperti ini sebenarnya pernah terjadi sebelumnya namun karena daerah kerjanya merupakan daerah pinggiran sebuah kota besar dan saya juga menguasai bahasa daerah dilingkungan itu, maka tidaklah sulit untuk memecahkan masalahnya namun tentunya kita jangan salah dalam memilih metode pendekatan karena bagaimanapun setiap metode ataupun pendekatan yang akan digunakan,masing-masing mempunyai resiko yang tidak kecil.

Jika menilik kasus diatas bukankah adalah penting merekrut tenaga HRD dari area lokal atau paling tidak mereka yang menguasai adaat budaya setempat kemudian diberi pelatihan tentang HRD atau diambil dari luar area yang sudah mempunyai pengalaman dalam bidang HRD kemudian secepat mungkin mengadaptasi diri terhadap lingkungannya, ini adalah soal pilihan yang jelas jangan sampai kita merekrut untuk HRD tetapi tidak menguasai salah satu dari kedua kriteria diatas

Kembali kepada orang yang mampu menjembatani tadi, sampai saat ini saya belum tahu secara jelas mengenai pemberian nama kepada orang yang mampu menjembatani seperti itu, dan saya yakin setiap perusahaan memiliki karyawan seperti itu, karena selain tugas rutinnya di perusahaan,dia juga mampu masuk ketengah sosial masyarakat sehingga mampu melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat lokal dan tanpa disadari orang ini punya pengaruh kepada masyarakat sekitar, agar ada kejelasan dan tidak salah memaknainya maka saya menyebutnya Entry Point Man

Senin, 20 September 2010

Bertahan di sana dan kemudian tenggelam

Pertentangan pendapat antara bertahan di suatu pekerjaan dan perusahaan atau menjadi “kutu loncat” adalah topik yang tidak ada habis-habisnya dibahas.

Mari kita tengok Andi yang sudah mengabdi pada sebuah perusahaan kontraktor terkemuka dan saat sekarang menduduki jabatan direktur operasi. Usia Andi baru saja menginjak 40 Tahun. Oleh orang luar Andi dianggap sebagai salah satu dari 10 direktur terbaik di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir pencapaian target Andi belum pernah meleset. Adakah yang salah dalam karir Andi? Tentu dari kacamata orang luar melihat Andi punya karir sempurna.

Apakah Andi merasa mapan dan nyaman?Jika jawabannya “ya” maka Andi disarankan mengevaluasi ulang langkah karirnya. Mengapa? Karena justru kemapanan dan kenyamanan inilah yang bisa kita golongkan pada situasi keberadaan dalam comfort Zone.

Kita bisa menganggap seseorang berada dalam Comfort Zone apabila orang tersebut merasa mempunyai kontrol yang kuat terhadap karirnya dan tidak ingin berubah. Pertanyaannya,kapan Comfort Zone ini dapat dinikmati untuk seseorang? Keadaan nyaman dan mapan ini,tentunya bisa saja dianggap benar-benar tepat bila seseorang sudah mendekati masa pensiunannya.

Kembali lagi ke contoh sebelumnya,bagaimana dengan Andi? Andi masih berusia 40 tahun,atasannya adalah owner perusahaan sehingga kemungkinan Andi untuk menjabat pekerjaan sebagai direktur utama hampir tidak memungkinkan. Haruskah Andi pindah pekerjaan? Apakah nantinya Andi akan dianggap tidak loyal terhadap perusahaan? Kalaupun pindah,akankah pekerjaan atau perusahaan yang akan datang memberinya rasa betah dan nyaman seperti sekarang?

Bila Andi berpikir jangka panjang,dan mempunyai keberanian untuk memasuki konflik karier yang membingungkan dan kompleks maka Andi tentunya perlu mempertimbangkan beberapa kemungkinan : bergerak,bergeser,berpindah tempat (rotasi atau mutasi),kembali ke bangku kuliah,atau tindakan apapun yang dapat digolongkan dalam tindakan “bergerak”.

Ini tentunya melelahkan dan menakutkan bagi Andi. Bagaimana kalau yang lebih ekstrim seperti menghentikan kegiatan sama sekali dan melakukan perubahan total? Hal ini tentunya membutuhkan tantangan yang lebih besar. Namun demikian,bukankah kita juga mengenal beberapa situasi dimana seseorang yang bertahan untuk menekuni karier tertentu secara bertahun-tahun dengan keyakinan bahwa jam terbangnya suatu hari akan mendatangkan hasil, dikejutkan oleh anak muda yang melakukan cara-cara yang sangat berbeda untuk mencapai tujuan yang sama tetapi dengan cara dan tempo yang sangat mengejutkan?

Seringkali kita tidak memperhatikan perubahan pada lingkungan yang begitu cepat sebab perubahan kerja yang terjadi di lingkup internal kantor membuat kita terlena,sehingga kerja keras dan rutinitas bertahun-tahun yang mungkin saja menghasilkan reward sepadan pada awalnya justru mematikan kreativitas dan menenggelamkan kita pada akhirnya.

Dalam berkarier beberapa pertanyaan yang perlu kita hidupkan setiap mengevaluasi adalah : apa yang secara masuk akal bisa saya lakukan hari ini dan di kemudian hari? Apakah investasi saya selama lima tahun ini bisa menjadi landasan untuk lima tahun yang mendatang ? Bagaimana landasan ini menjadi tidak berguna,apa yang salah?

Dalam berkarier,orang sering lupa bahwa bergerak tidak selalu keatas,dan bila gerakan macet,timbul frustasi. Bergerak akan menjadi menarik bila kita bergerak maju. Bahkan bila kita sudah membiasakan diri untuk bergerak maju,kita memperoleh energi dari penguatan gerak itu sendiri.

Mempelajari keterampilan bagian lain, yang justru berarti memperkuat bargaining power bagian anda untuk memperoleh servis yang proper dari bagian lain,atau mengulang kegiatan yang sudah lama tidak dilakukan seperti misalnya bertandem dengan anak buah melakukan hal-hal rutin anak buah sambil melakukan coaching adalah suatu gerakan juga.

Bergerak bisa juga berkonotasi sosial. Coba evaluasi ulang,apakah anda menghindari bisnis sesudah “nine to five”? sadarkan anda bahwa kesempatan justru bisa diraih dari kesempatan-kesempatan informal dan hubungan-hubungan ringan di luar jam kerja?

Kita lihat,energi datang dari satu-satunya sumber : action! Ibarat pertandingan bola yang indah,bukan datang dari strategi bertahan melulu,tapi action,menyerang,berusaha selalu mencetak gol sampai peluit tanda pertandingan usai dibunyikan dan setelahnya merayakan kemenangan. Barulah seseorang boleh merasa nyaman,barulah orang tersebut boleh menikmati Comfort Zone dalam konotasi yang lebih positif.

Senin, 13 September 2010

Gaji Pokok

Banyak pertanyaan yang muncul pada sebuah komunitas on-line yang berbasis kepada pengetahuan tentang dunia Human Resources (HR) atau dunia ke SDM an dan salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan dan terus berulang adalah mengenai struktur gaji (salary structure), karena begitu banyak perusahaan dengan segala kepentingannya, begitu banyak juga jenis dari sistim penggajian yang digunakan untuk mengakomodir kepentingan dari masing-masing pihak atau untuk kepentingan semua pihak dalam perusahaan, salah satunya adalah struktur gaji yang didalamnya memuat uraian yang terdiri dari komponen-komponen gaji dari total gaji yang diterima karyawan, salah dari komponen gaji dari uraian itu adalah dengan menuliskan gaji pokok.

Pada awalnya penggunaan gaji pokok ini diharapkan atau dibuat untuk memudahkan dalam menghitung setiap gaji yang akan diterima pegawai atau karyawan, akhirnya sampai sekarang para pegawai negeri masih menerima gaji berdasarkan gaji pokok, besaran gaji pokok ini biasanya diawali dengan dasar pendidikan pegawai untuk menentukan gaji pokoknya artinya pada awalnya gaji pokok selalu identik dengan pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin besar gaji pokoknya. Di era tahun 1980 sistim ini banyak digunakan oleh perusahaan yaitu menerapkan struktur gaji dengan menetapkan gaji pokok sebagai acuan untuk pemberian tunjangan-tunjangan baik tunjangan tetap maupun tidak tetap kemudian gaji pokok ini juga digunakan untuk perhitungan pembayaran lembur dan pembayaran premi asuransi-asuransi sosial tenaga kerja maupun jaminan pemeliharaan tenaga kerja, hanya besaran gaji pokok yang ditetapkan oleh perusahaan swasta tidaklah sebesar yang ditetapkan untuk pegawai negeri sehingga menjadi pembicaraan ketika dilakukan kenaikan gaji pada perusahaan swasta banyak hanya didasarkan kepada perhitungan gaji pokoknya saja tanpa disertai kenaikan tunjangan-tunjangan. Jika mengacu kepada pegawai negeri mungkin kenaikan gaji pokok mempunyai dampak yang signifikan terhadap daya beli pegawai itu sendiri namun tidak demikian dengan karyawan perusahaan terutama perusahaan swasta yang dimana kenaikan gaji pokok tidak banyak berpengaruh kepada daya belinya. Mengapa hal ini bisa terjadi pada perusahaan swasta saja bagaimana dengan perusahaan-perusahaan milik Negara (BUMN), sebenarnya perusahaan BUMN ini banyak yang tidak ekonomis lagi namun karena mempunyai nilai strategis secara politis maka perusahaan BUMN banyak yang disubsidi agar tetap bisa berjalan atau melakukan kegiatan operasional dengan apa adanya saja tetapi untuk perusahaan seperti ini gaji yang diterima oleh karyawannya jauh diatas karyawan swasta padahal kinerja karyawan perusahaan swasta boleh dikatakan lebih baik, dan lebih beruntung lagi walau kinerjanya kurang baik para pegawai BUMN tidak mungkin dipotong gaji pokoknya. Dari uraian sederhana diatas terlihat secara kasatmata bahwa sistim ini juga akan mudah digunakan untuk tujuan-tujuan effisiensi atau tindakan untuk menghemat pembayaran gaji. Ada perusahaan-perusahaan yang menggunakan sistim penggajiannya dengan sistim gaji seperti diatas dan mempunyai tujuan yang menurut pikiran saya merupakan strategi agar dalam pembayaran-pembayaran apapun diluar gaji akan lebih murah contohnya pembayaran yang berkaitan dengan THR atau bonus atau lainnya.

Memang pemerintah telah mengatur sistim pembayaran gaji ini dengan struktur perbandingan atau prosentase besaran pendapatan atau penghasilan tetap yang salah satu komponennya adalah gaji pokok mempunyai prosentase yang lebih tinggi dibanding pendapatan atau penghasilan tidak tetapnya berkisar 75 % berbanding 25 %, namun kenyataan dilapangan mungkin saja berbeda. Dari pengalaman dilapangan ada beberapa perusahaan ketika memberikan kenaikan gaji kepada karyawan ternyata yang dinaikkan hanya tunjangannya saja dan lebih tidak masuk akal lagi adalah kenaikan tunjangan tersebut merupakan tunjangan tidak tetap yang setiap saat bisa berubah, tindakan perusahaan untuk menaikkan gaji berdasarkan tunjangan saja, dilakukan untuk menghindari adanya kenaikan gaji pokok yang tentu saja akan berdampak kesemua penghitungan gaji berikutnya atau berpengaruh kepada keuangan dimasa yang akan datang, hal ini berkaitan juga dengan kekhawatiran para pengusaha adalah apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dampaknya kepada pemberian pesangon maka apabila gaji pokoknya tinggi akan membuat perusahaan membayar tinggi juga pesangonnya. Selain itu banyak para pengusaha yang berkeinginan untuk melakukan pemotongan gaji pokok karyawan karena dinilai kinerja karyawannya tidak baik padahal sesuai peraturan pemerintah bahwa gaji pokok itu murni harus diberikan dan tidak dapat dipotong dengan alasan apapun.

Tetapi tidak semua perusahaan swasta begitu karena ada juga perusahaan yang betul-betul memperhatikan nasib karyawannya sehingga mereka mengatur gajinya dengan sistim kenaikan berkala setiap tahun atas gaji pokoknya untuk mengantisipasi kenaikan inflasi bahkan ada perusahaan yang menggunakan penggajiannya dengan sistim cleanweight artinya sistim ini tidak mengenal gaji pokok tetapi gaji berdasarkan jabatan jadi setiap jabatan mempunyai tarif tersendiri dengan ngaji terendah sampai tertinggi pada jabatan itu sehingga bagi pemegang jabatan yang cukup lama mengemban tugasnya bisa termotivasi karena bisa saja terjadi kenaikan sampai dengan tertinggi, ini artinya yang mempunyai tugas dan tanggung jawab lebih besar akan mendapat gaji yang lebih besar juga.

Demikianlah sekelumit uraian mengenai gaji pokok dengan segala implikasinya, semua sangat tergantung kepada kita sebagai pengelola SDM namun terkadang kita dihadapkan pada sebuah dilema yakni mengikuti keinginan para pengusaha yang “nakal” atau tetap dengan idealisme kita dengan konsekuensi siap resign