Saat dipercayakan untuk mengela Sumber Daya Manusia sebuah perusahaan dengan jumlah karyawannya tidak lebih dari 100 orang maka yang terbersit tentu pekerjaan ini akan dapat dikerjakan tanpa hambatan yang signifikan, hal ini mengacu kepada pengalaman ketika mengelola SDM yang jumlah karyawannya diatas seribu orang yang secara kuantitas sangat besar sehingga permasalahanpun akan lebih besar juga. Namun kenyataan mengelola SDM tidak sama dengan ilmu pasti, semakin besar yang dikelola tentu akan semakin besar juga masalah yang dihadapi, statement tersebut bisa benar bisa juga tidak karena sangat tergantung dari beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan SDM perusahaan, untuk itu ada beberapa variabel yang berpengaruh dalam mengelola Sumber Daya Manusia antara lain :
1. Latar belakang pendidikan setiap orang yang berbeda akan membuat pola pikir seseorang berbeda dengan yang lain dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari terutama bagi mereka yang belum punya pengalaman bekerja.
2. Usia dari seluruh karyawan yang bervariasi tentu akan menentukan kedewasaan atas setiap tindakan setiap karyawan
3. Intelligent Quotient (IQ) dan Emotionally Intelligence (IE) seorang yang lain tentu berbeda-beda, tentu akan berpengaruh kepada kemampuan memecahkan masalah dan kerjasama tim.
4. Area atau lokasi kegiatan pekerjaan, sangat berbeda orang yang bekerja di Kantor dengan orang yang bekerja di Pabrik apalagi dengan orang yang bekerja di Pertambangan yang merupakan remote area
Dan masih banyak lagi variabel lain namum dengan 4 (empat) point diatas sudah cukup kiranya mewakili semua variabel yang ada didalam masyarakat kita. Dengan demikian tugas pengelola SDM harus mampu mengidentifikasi varibel-variabel dimaksud dari setiap karyawan agar setiap informasi yang disampaikan dapat difahami dan dimengerti oleh seluruh karyawan dengan persepsi yang sama namun bukan hal yang mudah ketika kita ingin semua karyawan mempunyai kesamaan dalam menyikapi sebuah budaya kerja dalam perusahaan. Jadi jelaslah bahwa semakin banyak karyawan yang harus dikelola akan semakin banyak permasalahan yang akan dihadapi, tetapi apakah demikian ? sebuah pertanyaan yang menarik karena beberapa manager tentu akan berbeda dalam menyikapi hal ini, mereka berpendapat bahwa jika karyawan sedikit tapi basic pendidikannya rendah dan peralatan yang dihadapi sedikit berteknologi maka adaptasinya akan cukup lama sehingga waktu produksi akan bertambah. Selain itu terkadang perbedaan usia antara tingkat manajer dan tenaga pelaksana yang terlalu jauh perbedaannya mengakibatkan sring terjadinya salah pengertian sehingga terjadi gesekan yang sebenarnya tidak perlu terjadi karena bagaimanapun tingkat kedewasaan dalam berpikir terkadang menjadi kendala dalam operasional sehari-hari, selain itu jika terjadi perbedaan usia yang terlalu jauh maka akan terjadi lobang usia ditengah yang berdampak tidak berjalannya suksesi atau juga pada suatu saat perusahaan akan kehilangan karyawan pada saat yang bersamaan karena terjadinya pemberhentian karyawan karena usia pension. Idealnya dalam hal usia adalah berjenjang seperti anak tangga yang setiap anak tangga mempunyai perbedaan usia tidak lebih dari 3 (tiga) tahun,
Ketika mengelola karyawan yang berjumlah kurang lebih seratus orang namun karena area atau lokasi pekerjaan berada pada remote area maka faktor yang dominan adalah budaya kerja dan bahasa, perubahan dimaksud adalah budaya pertanian dirubah menjadi budaya industri, budaya ini sifatnya homogen, dilain pihak ada lagi budaya yang berkaitan dengan adat istiadat yang berpengaruh pada prilaku karyawan dalam bekerja sehingga mengganggu produktivitas, seperti misalnya untuk hari tertentu jadwal kerja harus sampai jam 18.00 saja akibatnya produksi harus menyesuaikan terhadap hal tersebut. Selain itu ada kebiasaan penduduk lokal untuk membawa senjata tajam termasuk dalam bekerja sehingga tidak jarang apabila terjadi pertengkaran akan dengan cepat menggunakan senjata tajam untuk menyerang lawannya masing-masing.akibatnya seringkali berujung pada kematian. Belum lagi tingkat pendidikan para penduduk lokal yang seringkali membuat kita para pengelola Sumber Daya Manusia kesulitan memberi pengertian terutama pada penggunaan bahasa setempat, secara teknis pengelolaan SDM di remote area seperti ini walaupun jumlahnya tidak banyak namun akan mengalami permasalahan yang lebih banyak pada hal non teknis dalam pengelolaannya. Hal ini tentu berbeda dengan pengelolaan SDM pada perusahaan yang berada di area perkotaan, dengan tingkat pendidikan dan budaya kerja yang beragam tentu akan mudah kita kelola dengan metode teknis dalam pengelolaan SDM.
Maka dapat dibayangkan ketika kendala diatas terjadi secara bersamaan maka mengelola SDM yang sedikit dengan permasalahan sedemikian banyak, diperlukan pemikiran yang ekstra. Berkaitan dengan pengelolaan SDM pada perusahaan dengan lokasi di remote area dan dengan jumlah karyawan yang kecil, maka sejak awalnya banyak kendala yang dihadapi karena banyak karyawan yang sulit berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga sering terjadi salah pengertian, salah satu kesulitan ini berakibat timbulnya ketegangan-ketegangan tidak hanya dari karyawan itu sendiri tetapi juga setiap masalah yang timbul ternyata juga terakses oleh masyarakat sekitar yang mungkin saja mudah terprovokasi oleh hal-hal yang bernada negatif, masyarakat mudah tersulut oleh hal-hal yang dianggap negatif karena ini juga dikarenakan mereka juga menginginkan diberi kesempatan untuk bekerja pada perusahaan namun tidak bisa karena formasinya belum ada, terkadang mereka selalu mencoba dengan sedikit tekanan bernada ancaman kepada HRD,tetapi dengan kesabaran bagian HRD terus menerus memberikan pengertian bahwa formasi belum ada. Kejadian seperti ini akan muncul ketika saya harus melakukan perubahan-perubahan untuk meningkatkan kinerja terutama mengenai perubahan budaya kerja, mereka yang selama ini merasa nyaman, mulai terusik dan berusaha untuk mempengaruhi rekan kerja yang lain. Jika terjadi ketegangan-ketegangan dan para security juga tidak mampu mengatasinya maka metode yang digunakan para pemilik modal adalah dengan melakukan tindakan Represif yaitu dengan meminta bantuan dari para preman lokal atau aparat Kepolisian untuk menjaga perusahaan namun buat saya, metode ini hanya bersifat temporer saja, karena perusahaan tidak bisa terus menerus menempatkan aparat disekitar area perusahaan secara terus menerus karena hal ini akan selain berdampak pada biaya tinggi juga suasana kerja akan terganggu tetapi ibarat buah simalakama jika aparat meninggalkan area perusahaan maka masyarakat sekitar kembali datang untuk mengganggu. Saat itu saya harus mencari metoda yang mampu menyelesaikan masalah ini karena bagaimanapun apabila terus menerus diganggu maka kenyamanan semua karyawan juga terganggu dalam bekerja, hal ini merupakan tanggung jawab HRD untuk tetap fokus membuat situasi kembali nyaman sehingga produktivitas karyawan tetap terjaga. Yang paling ideal untuk menyelesaikan masalah itu adalah dengan metode pendekatan personal, namun metode ini juga bukan tanpa kendala karena sebagai HRD di Perusahaan, saya tidak mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam strata sosial mereka sehingga saat itu saya harus mencari orang yang mampu menjembatani kedua pihak yaitu perusahaan dan masyarakat sekitar. Mencari orang yang tepat untuk menjembatani kedua pihak bukan juga perkara yang mudah karena orang ini harus betul-betul berada ditengah-tengah tanpa memihak kemanapun dan selalu harus mampu menetralisir keadaan yang bisa saja terjadi setiap saat, jadi tugas orang ini tidak bisa sementara saja namun harus betul-betul siaga sampai dengan terbangun kemitraan yang baik.
Pencarian itu saya realisasikan dengan menyeleksi para karyawan karena jika ada pihak ketiga maka biasanya persoalan akan menjadi rumit dan berujung pada biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, Pada saat itu saya menyeleksi karyawan yang mempunyai pengaruh di lingkungan karyawan itu sendiri namun yang paling ideal adalah mereka juga yang mempunyai pengaruh pada lingkungan sosial masyarakat sekitar perusahaan, proses pencarian ini sebenarnya tanpa diketahui oleh siapapun termasuk Direksi karena bagi saya ada kekhawatiran jika hasilnya nanti karyawan yang terpilih malah tidak dapat disetujui oleh Direksi, proses terus berjalan dalam waktu kurang lebih 2 (dua) minggu berhasil didapat orang yang sesuai kriteria yang kemudian saya berikan tugas tambahan untuk menjembatani apabila ada permasalahan antara perusahaan dan Karyawan serta masyarakat sekitar. Proses perubahan yang dilakukan dengan dijembatani orang lain ternyata mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi hal ini bisa dinilai yaitu dalam semester kedua semua sudah berjalan optimal dengan indikator kinerja meningkat serta peningkatan produksi yang juga dengan rendahnya biaya produksi, hal itu bisa tercapai tentu dengan terus menerus menanamkan nilai-nilai budaya kerja atau budaya perusahaan. Keberhasilan ini tentu merupakan suatu prestasi buat HRD namun yang paling penting dibalik keberhasilan itu adalah bentuk keberhasilan ketika melakukan seleksi memilih orang yang akan dijadikan entry point karena kunci kesuksesan ada pada orang ini. Metode pendekatan seperti ini sebenarnya pernah terjadi sebelumnya namun karena daerah kerjanya merupakan daerah pinggiran sebuah kota besar dan saya juga menguasai bahasa daerah dilingkungan itu, maka tidaklah sulit untuk memecahkan masalahnya namun tentunya kita jangan salah dalam memilih metode pendekatan karena bagaimanapun setiap metode ataupun pendekatan yang akan digunakan,masing-masing mempunyai resiko yang tidak kecil.
Jika menilik kasus diatas bukankah adalah penting merekrut tenaga HRD dari area lokal atau paling tidak mereka yang menguasai adaat budaya setempat kemudian diberi pelatihan tentang HRD atau diambil dari luar area yang sudah mempunyai pengalaman dalam bidang HRD kemudian secepat mungkin mengadaptasi diri terhadap lingkungannya, ini adalah soal pilihan yang jelas jangan sampai kita merekrut untuk HRD tetapi tidak menguasai salah satu dari kedua kriteria diatas
Kembali kepada orang yang mampu menjembatani tadi, sampai saat ini saya belum tahu secara jelas mengenai pemberian nama kepada orang yang mampu menjembatani seperti itu, dan saya yakin setiap perusahaan memiliki karyawan seperti itu, karena selain tugas rutinnya di perusahaan,dia juga mampu masuk ketengah sosial masyarakat sehingga mampu melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat lokal dan tanpa disadari orang ini punya pengaruh kepada masyarakat sekitar, agar ada kejelasan dan tidak salah memaknainya maka saya menyebutnya Entry Point Man
Tidak ada komentar:
Posting Komentar