Sering kita dengar bahwa sampai dengan saat ini tahun 2011,banyak lembaga pelatihan yang mengundang para pengelola SDM perusahaan untuk mengikuti sosialisasi mengenai Undang-undang Tenaga kerja no. 13 Tahun 2003, apakah ini memang kebutuhan atau peluang bisnis semata ataukah kedua-duanya. Sudah sekian tahun UU itu diberlakukan namun tetap saja masih banyak pertanyaan dan keluhan dari para pengelola SDM Perusahaan mengenai UU tersebut, seolah UU itu menjadi sesuatu yang kontroversial, sebenarnya banyak para pengelola SDM Perusahaan merupakan pendatang baru (new comer) dan baru mengenal UU tersebut sehingga wajar saja jika setiap waktu muncul pertanyaan dan keluhan dari mereka akan tetapi bukan berarti muka-muka lama sudah mengerti atau memahami isi UU, bisa saja mereka membuat keputusan sendiri dengan pemahaman yang terbatas.
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa pemahaman mengenai undang-undang tenaga kerja sering menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya, apalagi jika ada para pengelola SDM yang berlatar belakang Sarjana Hukum maka sebuah pasal akan sering menjadi banyak pendapat dalam penafsirannya, sementara di lain fihak para penerbit bukupun tidak kalah sibuknya menerbitkan buku tentang turunan dari Undang-undang itu, buku ini memang banyak membantu dalam menafsirkan atau menjelaskan mengenai pasal-pasal dalam Undang-undang yang dinilai sering menjadi kontroversial, disisi lain juga kita menyadari bahwa pemahaman seseorang dalam menafsirkan setiap pasal akan berbeda jadi bagi seseorang bisa dikatakan jelas namun bagi orang lain sepertinya abu-abu saja, demikian seterusnya. Berbicara mengenai buku-buku turunan dari UU yang diterbitkan, sayangnya buku-buku itu tidak memuat seluruh isi dan pasal-pasal dari Undang-undang karena masih ada juga pasal-pasal yang belum ada turunannya ataupun ada semuanya maka bisa kita bayangkan seberapa tebal buku itu, dan akan menjadi mahal harganya.
Ada contoh sederhana dari pasal 79 dan pasal 82 yang sering kita perdebatkan mengenai isi dari pasal tersebut dalam Undang-undang misalnya mengenai cuti karyawati yang mendapat cuti melahirkan apakah masih berhak mendapat cuti tahunan atau ada karyawan atau karyawati yang mendapat cuti melaksanakan Ibadah Keagamanaan juga masih mendapat cuti tahunan ? atau ada karyawan yang sakit berbulan-bulan masih berhak mendapat cuti tahunan. Untuk pertanyaan ini, jika penulis yang menjawab tentunya hak cuti hanya 1 kali dalam 1 tahun jadi apabila ada kepentingan karyawan memerlukan waktu yang lebih lama dari waktu cuti maka silahkan karyawan atau karyawati melaksanakannya sesuai kepentingannya dan itu diatur juga harus diatur oleh UU namun setelah itu yang bersangkutan tidak lagi mendapat hak cuti dalam tahun berjalan, mungkin saja pemikiran saya tersebut bisa diperdebatkan lagi. Asumsi pemikiran itu bisa dilogikakan bahwa tiak mungkin seorang karyawan atau karyawati bisa mendapat cuti berbulan-bulan jika semua peraturan cuti yang tertuang didalam Undang-undang itu harus diimplementasikan. Masih banyak lagi polemik mengenai isi Undang-undang itu seperti misalnya mengenai tenaga kontrak (PKWT/KKWT),outsourching, penerapan pemberian pesangon, dll, semua masih sering harus diperdebatkan terutama berkaitan antara adanya kepentingan karyawan dan pengusaha.
Adalah hal yang wajar ketika sebuah perusahaan merekrut tenaga HRD yang berlatar belakang pendidikan Sarjana Hukum, karena bagi perusahaan persoalan penafsiran UU menjadi kebutuhan utama perusahaan saat itu. Sebenarnya perbedaan penafsiran maupun perbedaan pandangan didasarkan pada sudut kepentingan masing-masing akan tetapi hal ini tidak perlu terjadi apabila di perusahaan sudah ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) ataupun peraturan perusahaan yang mengatur semua dengan menginduk kepada UU dan biasanya PKB,KKB maupun peraturan perusahaan lebih detail dibanding UU, sementara untuk tenaga kontrak dibuat dengan sedemikian rupa dengan menuangkan pasal-pasal dalam UU untuk tenaga kontrak, sehingga kelak tidak ada perdebatan, yang penting seluruh isi kontrak tidak lebih rendah dari UU. Selanjutnya bukan berarti bahwa dengan direkrutnya seorang sarjana hukum oleh sebuah perusahaan menandakan bahwa perusahaan itu belum mempunyai perangkat peraturan yang dapat dijadikan landasan hubungan bipartit.
Dengan banyaknya masalah yang berkaitan dengan Hubungan Industrial seperti diatas maka diperlukan solusi yang komprehensif, agar tidak terjadi perdebatan yang tidak berujung, dan salah satu solusi yang paling baik adalah dengan membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) ataupun Peraturan Perusahaan (PP), pembuatan ini merupakan sebuah solusi yang terbaik agar tidak terjadi salah penafsiran UU, karena dengan adanya PKB/KKB atau PP merupakan landasan kita menyelesaikan masalah hubungan industrial dan merupakan kewajiban perusahaan untuk membuat itu. PKB/KKB ataupun PP semuanya mengacu kepada UU sebagai induknya dan tentunya isinya harus lebih detail dari UU atau dengan kata lain jika kita membuat PKB,KKB atau PP haruslah memuat turunan dari UU dengan bahasa yang mudah difahami secara logika ataupun nalar para karyawan. Seperti kita ketahui bahwa memang dalam membuat PKB/KKB atau PP haruslah melibatkan karyawan, paling tidak ada yang mewakili dalam hal ini biasanya diwakili oleh serikat pekerja (jika ada) namun jika belum ada serikat pekerja maka dimintakan perwakilan yang ditunjuk oleh seluruh karyawan.
Banyak perusahaan terutama dengan skala menengah kebawah dan merupakan perusahaan keluarga, biasanya perusahaan-perusahaan ini kurang memperhatikan perlunya PKB/KKB atau peraturan perusahaan sehingga ketika terjadi permasalahan antara Perusahaan dan karyawannya maka akan menimbulkan masalah yang didasarkan pada perbedaan penafsiran isi UU ketenagakerjaan, akibatnya terjadi ketegangan-ketegangan antara perusahaan dan karyawan yang kemudian membawa persoalan itu ke serikat pekerja dan akhirnya persoalan dimediasi atau diselesaikan oleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Akan lebih repot lagi jika saat persoalan yang dimediasi oleh Disnaker tidak mempunyai titik temu sehingga harus dilanjutkan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan akan menjadi lebih repot lagi jika salah satu pihak tidak menerima putusan pengadilan maka perkaranya dapat diajukan ke Mahkamah Agung untuk pengajuan banding. Dengan demikian sebuah persoalan yang tadinya tidak terlalu rumit akan menjadi atau menyita perhatian serius untuk itu akan banyak waktu yang diperlukan untuk penyelesaiannya belum lagi biaya dan tenaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar