Jika mendengar pernyataan atau
kalimat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), para karyawan perusahaan akan
menunjukkan kegelisahannya, mereka rata-rata akan merasa ketakutan dalam
menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang karena mereka sadar bahwa dengan
kemampuan yang dimiliki saat itu, mereka tidak dapat berbuat lebih jauh lagi
terutama dalam persaingan didunia kerja. Para karyawan menyadari bahwa yang
paling terdahulu dalam mendapat PHK adalah mereka yang dianggap tidak mempunyai
kinerja, berkinerja rendah, atau yang mudah tergantikan dalam mengerjakan suatu
pekerjaan, posisi-posisi seperti itu memang banyak terdapat pada
industri-industri padat karya. Dimensi ini akan terus bergulir sampai kapanpun
juga sepanjang belum ada kebijakan-kebijakan antisipasi kearah itu karena itu
harus terus digalang baik oleh pemerintah maupun pengusaha dengan pola
sebaiknya jangan pernah memberikan ikan tetapi kail kepada mereka yang terkena
PHK. Satu contoh yang bisa diterapkan oleh perusahaan adalah untuk mengantisipasi
akan terjadi PHK dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada seluruh
karyawan dengan kategori diatas. Yaitu tentang pengetahuan dan keterampilan
diluar pekerjaan utamanya, kemudian kepada mereka yang dinyatakan mampu untuk
bekerja diluar pekerjaan utamanya maka kepada mereka diberikan bantuan
peralatan dan modal kerja dan diangkat sebagai pelaku industri binaan
perusahaan.
Dimensi lain dari PHK adalah
adanya orang yang memang sangat amat berminat untuk mengikuti program PHK,
alasan yang dikemukakan bahwa mereka telah siap dengan segala resiko yang akan
dihadapi kedepan dan jika mereka di PHK maka mereka telah mempunyai
rencana-rencana untuk menopang hidup mereka dengan melakukan usaha-usaha sesuai
dengan keterampilan yang mereka miliki dan ini yang mereka yakin akan membawa
perubahan kedepan, namun sebaliknya bagi perusahaan yang tidak siap
ditinggalkan oleh mereka-mereka, akan menghadapi kesulitan mencari ataupun
merekrut tenaga baru yang mempunyai kualifikasi sama dengan yang telah keluar.
Dimensi ini memang membuat perusahaan mengalami dilema dalam mengambil
keputusan karena pasti akan terjadi pada perusahaan apapun ketika perusahaan
membuat program PHK, akan banyak karyawan yang terbaik mengikuti program ini
sementara mereka yang kurang baik cenderung akan tetap mempertahankan diri agar
tetap di perusahaan. Karena dilema inilah terkadang ada perusahaan yang memaksa
kepada sejumlah karyawan tertentu untuk mengikuti program PHK padahal mereka
itu tidak siap dan dampaknya terjadi perselisihan hubungan industrial karena
masing-masing mempertahankan pendapatnya atau juga masing-masing memaksakan
kehendaknya. Maka solusi yang terbaik adalah dengan menetapkan kriteria dalam
program PHK, sebagai contoh usia yang telah mendekati usia pensiun kemudian
suami istri kerja (SIK), alasan kesehatan, dll, biasanya pembuatan kriteria ini
bisa diterima walaupun mungkin tidak oleh seluruhnya, tetapi paling tidak ada
proses yang dapat dijalankan terlebih dahulu.
Ketika program PHK selesai
dilaksanakan, suasana didalam perusahaan pasti ada perubahan, secara teknis
maupun non teknis, yaitu dalam kondisi produksi normal maka pasti terjadi
peningkatan volume pekerjaan pada setiap karyawan, peningkatan volume tersebut
akan berdampak positip kepada karyawan yakni mereka tidak akan berpikir
mengenai program PHK namun apabila ternyata terjadi pengurangan produksi
sehingga berdampak kepada volume pekerjaan karyawan maka dapat dipastikan para
karyawan akan terkena sindrom PHK, mereka akan terus dihantui ketakutan jika
ada progran PHK berikutnya maka mereka yang akan terkena. Jika kondisi ini
dibiarkan tentu saja akan mengakibatkan ada rasa ketidakpercayaan karyawan
kepada manajemen puncak perusahaan bahwa mereka tidak mampu mengelola
perusahaan sehingga terjadi program PHK, ini artinya kredibilitas manajer
puncak sangat diragukan, akibatnya para karyawan akan mengambil sikap acuh tak
acuh terhadap apa yang dihadapi perusahaan dan ini membuat rasa kebersamaan
maupun rasa memiliki perusahaan semakin hancur dan perusahaan tidak lagi
kompetitif, dalam arti hanya tinggal menunggu waktu saja. Ini adalah dimensi
lain dari program PHK.
Sebagai tambahan referensi untuk hal diatas, sebagaimana menurut James
Kouzes dan Barry Posner (1993), dua pakar kepemimpinan ternama dari AS, sikap acuh
tak acuh tersebut merupakan indikasi kuat bahwa manajemen selaku pimpinan
perusahaan mulai kehilangan kredibilitas mereka. Pemimpin tanpa kredibilitas
tak akan memperoleh dukungan dari bawah sementara para bawahan pun bak 'anak
ayam kehilangan induknya'. Dalam kondisi seperti itu sangat sulit dibayangkan
bagaimana perusahaan dapat survive dari badai yang melanda dunia usaha saat
itu. Alhasil, PHK yang tadinya dimaksudkan untuk memperbaiki tingkat efisiensi
perusahaan malah menyebabkan turunnya tingkat produktivitas kerja sebagai
akibat merosotnya konsentrasi, ketenangan dan moralitas kerja para karyawan
yang tidak terkena PHK. Dengan kata lain, program PHK secara lingkungan sosial politik akan berpotensi
menimbulkan kerawanan dalam kehidupan masyarakat dan merugikan secara finansial mereka yang terkena PHK
tetapi juga berdampak negatif pada sisi kognitif dan psikologis mereka yang
tidak terkena PHK dan masih tetap tinggal didalam perusahaan.
Melakukan program PHK bagi perusahaan adalah tindakan terakhir atau keputusan yang paling terakhir diambil karena sudah tidak ada lagi jalan bagi manajemen untuk memperbaiki kinerja perusahaan dan juga perlu diperhatikan mengenai multidimensi program PHK sebagai pemikiran sebelum finalisasi program PHK....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar