Jumat, 16 September 2011

Menjemput bukan Menunggu


Ketika melihat perkembangan proses seleksi yang dilakukan oleh panitia pelaksana (pansel) dalam menyeleksi calon ketua KPK, ada rasa optimis dan juga pesimis yang dilontarkan oleh berbagai lapisan masyarakat mulai dari LSM sampai dengan para pejabat Negara dan semua memberikan tanggapan yang beragam, ini menunjukkan betapa seleksi calon ketua KPK ini merupakan langkah awal yang sangat penting karena proses seleksilah yang akan menentukan apakah akan membuahkan keberhasilan sebagaimana yang diharapkan masyarakat ataukah akan menuai kegagalan sehingga akan membuat rakyat kecewa, karena itu harapan besar dari lembaga KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi di Negeri ini akan menentukan nasib bangsa kedepan. Memang mencari orang yang terbaik dengan kredibelitas dan integritas yang tinggi merupakan syarat utama selain tentunya juga aksepbilitas ditengah masyarakat Indonesia dan Dunia.

Metode yang digunakan oleh Pansel saat ini adalah dengan membuka lowongan secara terbuka kepada seluruh anak bangsa yang berminat menjadi ketua KPK, dengan persyaratan tertentu dan bagi mereka yang memenuhinya, dipersilahkan mengajukan lamaran kepada pansel, metoda rekruting seperti ini mirip yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang ingin merekrut tenaga kerja baru yang berkualitas dan biasanya yang melamar ke perusahaan adalah mereka yang membutuhkan pekerjaan dan memenuhi syarat yang diajukan oleh perusahaan, namun ada juga mereka yang melamar adalah mereka yang telah bekerja di tempat lain kemudian melamar dengan harapan adanya perubahan penghasilan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya mereka yang menyukai tantangan baru agar mereka mempunyai pengalaman baru lagi dengan bekerja di perusahaan lain lagi. Dengan metode yang sama seperti itu, apakah orang-orang yang melamar juga mempunyai motivasi yang sama dengan mereka melamar ke Perusahaan bahkan mungkin saja ada orang yang melamar karena untuk menampung kepentingan politik nantinya. Segala kemungkinan bisa terjadi dan inilah yang akan menampikkan bahwa seleksi seperti ini bisa menuai yang baik maupun buruk, karena orientasi yang nantinya terpilih tentu belum akan terlihat saat seleksi maupun saat diawal mereka bekerja. Pola rekrutmen seperti ini bisa diibaratkan sebagai rumah makan padang, dimana ketika kita akan makan di rumah makan ini, kita akan disodori aneka jenis makanan, tinggal kita yang memilih mau apa akhirnya semua tergantung selera atau kesukaan kita, demikian juga ketika memilih calon tenaga baru maka yang tersedia adalah mereka yang telah lolos secara administrasi dan tinggal kita memilih berdasarkan kriteria yang sudah dibuat.

Mencari orang yang terbaik memang ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami, namun itu bukanlah sesuatu yang harus membuat kita pesimis untuk itu kita harus percaya bahwa orang itu sebenarnya ada di bumi pertiwi kita dan akan datang pada waktu yang tepat atau jika perlu kita harus mampu menjemputnya, karena sebenarnya banyak anak bangsa yang memenuhi syarat untuk menjadi ketua KPK akan tetapi mereka-mereka ini belum tertarik atau ada yang masih melihat situasi serta adanya prinsip individu menyikapi kondisi dan situasi bangsa ini, namun semuanya bukan rasa pesimisme mereka. Jika nantinya metoda seleksi yang sekarang tidak mendapatkan orang yang diharapkan maka menggunakan metoda lain tentu bukan barang haram salah satunya adalah metoda jemput. Metoda jemput ini sebaiknya juga dilakukan oleh pansel agar mereka yang berada diluar kepentingan apapun bisa menjadi calon ketua KPK, banyak cara untuk mendapatkan orang seperti ini karena banyak masukan dari masyarakat dan LSM serta adanya personal yang mempunyai performa menonjol ditengah masyarakat tentu harus menjadi perhatian.

Metoda jemput ini memang sangat jarang digunakan oleh institusi ataupun lembaga dalam proses untuk menempatkan orang dengan kualifikasi tertentu pada sebuah jabatan, hampir semua instusi untuk penempatan orang (placement) pada jabatan tertentu lebih mengandalkan dari proses lamaran, mungkin saja pola  referensi dari teman maupun adanya jaringan (network), bisa juga dikatakan sebagai metoda jemput, namun biasanya dengan sistim referensi maupun jaringan lebih lebih mengedepankan pada faktor kedekatan atau pertemanan sehingga pola ini memang bisa mendapatkan orang yang baik dinilai dari satu kelompok saja, selain itu metoda jemput ini  ada juga yang mengandalkan kepada tenaga konsultan (headhunter) dengan pengertian bahwa yang melakukan penjemputan tentu sang konsultan, namun ini juga tidak menjamin karena terkadang adanya kongkalikong antara konsultan itu dengan tenaga yang dipilih. Untuk perusahaan tertentu memang metoda ini sering digunakan tetapi sering juga terjadi  dan timbul stigma bahwa satu perusahaan telah membajak karyawan pada perusahaan lain yang menjadi kompetitornya, dan tentu saja tidak semua perusahaan mampu melakukan ini, selain karena akan membutuhkan waktu yang lama serta data yang dibutuhkan juga harus akurat, sisi lain yang penting adalah bahwa metode ini juga akan menimbulkan biaya tinggi, namun hal ini bisa diabaikan jika nantinya tenaga yang didapat merupakan tenaga yang handal dan mampu meningkatkan kinerja perusahaan secara signifikan. Biasanya perusahaan juga berusaha agar ketika tenaga tersebut ada di perusahaan, maka harus terjadi transfer knowledge, agar dikemudian hari ada karyawan perusahaan yang mampu mengerjakan atau mengganti tenaga profesional dimaksud, semakin cepat terjadi transfer knowledge maka semakin hemat biaya perusahaan dan ROI semakin cepat tercapai.

Contoh yang paling konkrit dari sistim jemput ini adalah bagaimana klub-klub sepak bola di benua eropa yang setiap musim selalu berburu pemain terbaik dengan memberikan harga yang tinggi kepada pemain yang dibutuhkan klub, para pengelola klub terus mencari dan mencari pemain yang mampu meningkatkan performa klub di masing-masing kompetisi negaranya, jika memang nantinya ada klub yang berminat maka si pemilik dapat memberikan pemain dimaksud kepada klub lain dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi lagi memang ini merupakan sebuah industri sepakbola, walaupun tidak dapat kita bandingkan dengan rekrutmen dalam dunia usaha di negeri ini, namun paling ada sebuah gambaran tentang bagaimana kita tidak menunggu tapi berburu.

Bagi perusahaan yang tidak dapat menggunakan metoda jemput  ini biasanya melakukan rekrutmen berdasarkan metoda konvensional yaitu dengan membuka lowongan kerja di media massa, dengan harapan ada orang-orang yang terbaik yang melamar sementara disisi lain banyak individual menaruh harapan besar kepada perusahaan agar dapat menerima lamarannya, jadi ada saling mengharapkan baik perusahaan maupun individu/personal. Saling mengharapkan tentu saja akan berdampak kepada adanya ketimpangan yang didasarkan atas kepentingan masing-masing pihak sehingga diperlukan proses negosiasi untuk menyeimbangkan kepentingan masing-masing agar proses rekrutmen dapat menghasilkan hal yang positip bagi kedua pihak, secara garis besarnya adalah bahwa yang dibutuhkan dapat terisi atau paling tidak ada persyaratan minimum yang dapat dicapai oleh para pelamar sehingga bisa diterima perusahaan.

Metoda jemput memang juga akan menimbulkan ketimpangan karena dengan metoda ini posisi tawar (bargaining position) individu/personal tentu akan berada diatas angin sehingga institusi/lembaga ataupun perusahaan harus segera menghitung secara cermat nilai ekonomisnya yang biasanya disebut sebagai Return of Investment (ROI) karena tenaga yang mempunyai kualifikasi diatas rata-rata merupakan investasi bagi perusahaan. Bagi kita para pengelola SDM perusahaan, metoda apapun yang digunakan sepanjang effesien dan effektif serta akan mendapatkan tenaga yang terbaik merupakan sebuah keberhasilan proses rekrutmen namun penilaian selanjutnya adalah pada perjalanan ketika mengelola perusahaan itu sendiri, berhasilkah kita ?

Senin, 05 September 2011

Multidimensi PHK


Jika mendengar pernyataan atau kalimat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), para karyawan perusahaan akan menunjukkan kegelisahannya, mereka rata-rata akan merasa ketakutan dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang karena mereka sadar bahwa dengan kemampuan yang dimiliki saat itu, mereka tidak dapat berbuat lebih jauh lagi terutama dalam persaingan didunia kerja. Para karyawan menyadari bahwa yang paling terdahulu dalam mendapat PHK adalah mereka yang dianggap tidak mempunyai kinerja, berkinerja rendah, atau yang mudah tergantikan dalam mengerjakan suatu pekerjaan, posisi-posisi seperti itu memang banyak terdapat pada industri-industri padat karya. Dimensi ini akan terus bergulir sampai kapanpun juga sepanjang belum ada kebijakan-kebijakan antisipasi kearah itu karena itu harus terus digalang baik oleh pemerintah maupun pengusaha dengan pola sebaiknya jangan pernah memberikan ikan tetapi kail kepada mereka yang terkena PHK. Satu contoh yang bisa diterapkan oleh perusahaan adalah untuk mengantisipasi akan terjadi PHK dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada seluruh karyawan dengan kategori diatas. Yaitu tentang pengetahuan dan keterampilan diluar pekerjaan utamanya, kemudian kepada mereka yang dinyatakan mampu untuk bekerja diluar pekerjaan utamanya maka kepada mereka diberikan bantuan peralatan dan modal kerja dan diangkat sebagai pelaku industri binaan perusahaan.

Dimensi lain dari PHK adalah adanya orang yang memang sangat amat berminat untuk mengikuti program PHK, alasan yang dikemukakan bahwa mereka telah siap dengan segala resiko yang akan dihadapi kedepan dan jika mereka di PHK maka mereka telah mempunyai rencana-rencana untuk menopang hidup mereka dengan melakukan usaha-usaha sesuai dengan keterampilan yang mereka miliki dan ini yang mereka yakin akan membawa perubahan kedepan, namun sebaliknya bagi perusahaan yang tidak siap ditinggalkan oleh mereka-mereka, akan menghadapi kesulitan mencari ataupun merekrut tenaga baru yang mempunyai kualifikasi sama dengan yang telah keluar. Dimensi ini memang membuat perusahaan mengalami dilema dalam mengambil keputusan karena pasti akan terjadi pada perusahaan apapun ketika perusahaan membuat program PHK, akan banyak karyawan yang terbaik mengikuti program ini sementara mereka yang kurang baik cenderung akan tetap mempertahankan diri agar tetap di perusahaan. Karena dilema inilah terkadang ada perusahaan yang memaksa kepada sejumlah karyawan tertentu untuk mengikuti program PHK padahal mereka itu tidak siap dan dampaknya terjadi perselisihan hubungan industrial karena masing-masing mempertahankan pendapatnya atau juga masing-masing memaksakan kehendaknya. Maka solusi yang terbaik adalah dengan menetapkan kriteria dalam program PHK, sebagai contoh usia yang telah mendekati usia pensiun kemudian suami istri kerja (SIK), alasan kesehatan, dll, biasanya pembuatan kriteria ini bisa diterima walaupun mungkin tidak oleh seluruhnya, tetapi paling tidak ada proses yang dapat dijalankan terlebih dahulu.

Ketika program PHK selesai dilaksanakan, suasana didalam perusahaan pasti ada perubahan, secara teknis maupun non teknis, yaitu dalam kondisi produksi normal maka pasti terjadi peningkatan volume pekerjaan pada setiap karyawan, peningkatan volume tersebut akan berdampak positip kepada karyawan yakni mereka tidak akan berpikir mengenai program PHK namun apabila ternyata terjadi pengurangan produksi sehingga berdampak kepada volume pekerjaan karyawan maka dapat dipastikan para karyawan akan terkena sindrom PHK, mereka akan terus dihantui ketakutan jika ada progran PHK berikutnya maka mereka yang akan terkena. Jika kondisi ini dibiarkan tentu saja akan mengakibatkan ada rasa ketidakpercayaan karyawan kepada manajemen puncak perusahaan bahwa mereka tidak mampu mengelola perusahaan sehingga terjadi program PHK, ini artinya kredibilitas manajer puncak sangat diragukan, akibatnya para karyawan akan mengambil sikap acuh tak acuh terhadap apa yang dihadapi perusahaan dan ini membuat rasa kebersamaan maupun rasa memiliki perusahaan semakin hancur dan perusahaan tidak lagi kompetitif, dalam arti hanya tinggal menunggu waktu saja. Ini adalah dimensi lain dari program PHK.
Sebagai tambahan referensi untuk hal diatas, sebagaimana menurut James Kouzes dan Barry Posner (1993), dua pakar kepemimpinan ternama dari AS, sikap acuh tak acuh tersebut merupakan indikasi kuat bahwa manajemen selaku pimpinan perusahaan mulai kehilangan kredibilitas mereka. Pemimpin tanpa kredibilitas tak akan memperoleh dukungan dari bawah sementara para bawahan pun bak 'anak ayam kehilangan induknya'. Dalam kondisi seperti itu sangat sulit dibayangkan bagaimana perusahaan dapat survive dari badai yang melanda dunia usaha saat itu. Alhasil, PHK yang tadinya dimaksudkan untuk memperbaiki tingkat efisiensi perusahaan malah menyebabkan turunnya tingkat produktivitas kerja sebagai akibat merosotnya konsentrasi, ketenangan dan moralitas kerja para karyawan yang tidak terkena PHK. Dengan kata lain, program PHK  secara lingkungan sosial politik akan berpotensi menimbulkan kerawanan dalam kehidupan masyarakat dan merugikan  secara finansial mereka yang terkena PHK tetapi juga berdampak negatif pada sisi kognitif dan psikologis mereka yang tidak terkena PHK dan masih tetap tinggal didalam perusahaan.                  

Melakukan program PHK bagi perusahaan adalah tindakan terakhir atau keputusan yang paling terakhir diambil karena sudah tidak ada lagi jalan bagi manajemen untuk memperbaiki kinerja perusahaan dan juga perlu diperhatikan mengenai multidimensi program PHK sebagai pemikiran sebelum finalisasi program PHK....